oleh Gusti A.P. (FLP Cab. Se-Malang Raya)
14 Agustus 2017 dini hari. Untuk kesekian
kalinya sambil duduk di sofa aku menatap surga duniaku yang sederhana: jajaran buku yang menghiasi rak kayu
toko buku mungil yang terhampar di hadapanku. Berusaha menanamkan pemandangan
yang sudah tampak familier itu ke dalam benakku. Terbesit suatu pikiran iseng, “Andai
nanti aku mati, aku akan menghantui tempat ini. Kalau aku bisa.”
Saat itu aku berada di Cahaya Pustaka,
tempat yang menghasilkan banyak memori kuat bagiku. Di sana aku bertemu dengan
rekan-rekan dari FLP Sidoarjo yang membuatku merasa seolah kembali terbang ke
masa kecil nan menyenangkan. Hal yang dulu mungkin tak bisa kudapatkan. Masa kecilku
terasa agak samar dan penuh tekanan. Aku lebih banyak berinteraksi dengan buku
dan video game daripada manusia. Sendirian aku sering mengurung diri di dalam
kamar dan diam-diam mengutuk kisah-kisah yang menggambarkan haru-biru
persahabatan seperti serial Lima Sekawan (toh, aku tetap saja ketagihan
membacanya dulu). Dan kenangan-kenangan yang kudapat dari tempat itu seolah
menjadi obat yang membayar segala hal yang dulu terasa menyakitkan.
Semua orang punya gambarannya sendiri
akan surga. Bagi orang Arab, surga digambarkan sebagai hamparan sungai dan kebun-kebun
yang sejuk. Bagi orang Skandinavia, valhalla atau surga digambarkan sebagai tempat
di mana jiwa para pahlawan perang bisa dengan santai berpesta setiap hari dan
minum-minum, lalu dilatih berperang oleh Odin dan Valkyrie untuk menghadapi
Ragnarok alias perang terakhir melawan Loki. Bagiku, surga adalah perpustakaan
dan toko buku. Tempat di mana aku bisa bercengkerama dengan buku-buku yang aku
suka tanpa harus mengkhawatirkan waktu atau dikomentari orang iseng. Tempat
seperti Toko Buku Cahaya Pustaka.
Memang tak mewah dan tak berAC, tidak
seperti Gramedia atau toko buku di mall-mall besar. Tapi Cahaya Pustaka sudah
cukup menjadi gambaran sederhana akan surga dunia yang aku idamkan. Ada aura
nyaman yang melingkupi tempat itu. Mungkin karena ruangan itu sering dipakai
untuk menerima para pemuda musafir pencari ilmu. Ya, Toko Buku Cahaya Pustaka
yang terletak di Jalan Raya Lebo no. 30 itu juga merangkap menjadi markas
pertemuan rekan-rekan FLP Sidoarjo.
***
Ruangan itu luas dan hampir semua dindingnya
ditutupi barisan rak buku yang kadang agak berdebu. Buku baru, lama, bahkan
usang bercampur jadi satu. Pemiliknya mungkin terlalu pusing untuk mencoba
menderetkan koleksi bukunya berdasarkan kategori tertentu. Katanya hampir setiap
waktu ada saja kiriman buku. Aku dan temanku pernah iseng mencoba mengurutkan ratusan
komik bekas dan gress yang baru tiba berdasarkan nama pengarang dan kategori
jenis cerita. Sampai setengah hari, pekerjaan itu tak kunjung selesai, dan
perutku langsung terasa diisi angin karena otakku bekerja keras mengingat
urutan dan judul komik yang ada.
Lapak Cahaya Pustaka di Writing Camp FLP se-Jatim 2017 di Trawas, Mojokerto. Memegang buku Lelaki Keseratus, antologi cerpen terbaru Pak Rafif Amir Ahnaf |
Setiap mengunjungi Cahaya Pustaka hobiku
adalah membolak-balikkan buku-buku yang dijual di sana. Mengamati harga-harga
semua buku yang semuanya sudah didiskon hingga lebih murah dari nominal tarif
yang ditetapkan di toko buku reguler. Secara otomatis jadi berlatih mencongak
saat menghitung harga buku dan membandingkan dengan kondisi dompet (hahahahah).
Ada rasa ngilu yang nyaman tiap kali memutuskan, "Hmm, mungkin akan
kutebus lain kali saja,” setiap ritual itu selesai dijalankan. Rasanya seperti
mengucapkan “sampai ketemu lagi” pada gebetan yang bahkan tak boleh dicubit. Sebagai
pelipur hati biasanya aku akan mencari buku-buku lain yang lebih sesuai dengan
kemampuan. Pada akhirnya lingkaran
wishlist itu jadi seolah tak pernah berakhir.
***
Ada sofa yang disusun melingkar pada
setengah ruangan. Sofa berwarna karamel itu mengarah langsung menghadap ke
jajaran rak buku. Di sofa itu sudah beberapa kali aku menekuk badan di malam
hari dan terlelap tanpa dihantui mimpi aneh.
“Kalau tidur di dalam saja. Kamarnya
Shafa,” kata sang Pemilik yang juga Ketua FLP Wilayah Jatim periode 2015-2017
itu. Shafa adalah anak perempuan semata wayangnya yang masih TK, energik dan
gemar bermain-main dengan pedang kayu HEMA (Historical European Martial Arts)-ku.
Tapi seperti biasa aku menolak. Tidur dikelilingi
rak berisi buku buatku lebih istimewa daripada tidur di hotel bintang lima.
Sang Pemilik pun akhirnya menyerah dan undur diri setelah mematikan lampu
ruangan tokonya.
“Mungkin di masa depan menghantui tempat
ini bakalan asyik juga,” pikirku masih iseng, membayangkan Shafa yang sudah besar dan berkali-kali menoleh ke belakang setiap berdiri di depan barisan rak buku toko ayahnya karena merasakan hawa aneh di tengkuknya. Sambil tersenyum aku kembali menekuk
badan di atas sofa dan menutupi wajah dengan jaket.
ConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic