Jadi, aku dapat pengumuman dari situs web resmi FLP (Forum Lingkar Pena) Pusat kalau esai yang kutulis untuk event "Lomba Esai Aku dan FLP 2016" dapat Juara 5. Alhamdulillah. Pengumuman aslinya bisa dilihat di sini
Pingin baca esaiku? Silakan lanjutkan scroll tulisan di bawah ini. Selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat. Cheers.
Aku dan Visi Kebangkitan FLP (Malang)
Gusti A.P.
Seumur-umur
belum pernah rasanya dihantui "teror” sedahsyat ini:
“Teruslah
menggali kebaikan yang nilainya lebih baik dari dunia dan segala isinya,” Pak Rafif Amir,
sang Ketua FLP Jatim pun menutup sesi program Sharing FLP Cabang di acara
Upgrading FLP Jatim, tanggal 7 Februari 2016.
“I’m a full-time muslim,” seru Pak
Bahtiar H.S., dalam acara yang sama, keesokan harinya. Kalem, tapi menggelegar
di hati. Senyuman beliau seolah bisa diterjemahkan dengan:
What about
you? Are you the freelancer one?
Bahtiar H.S. Sang Full-time Muslim. Menurutnya setiap muslim harus mendedikasikan setiap aspek kehidupannya dalam dakwah. Tidak hanya para kiai atau ulama. |
***
Delapan bulan berlalu sejak gempuran
motivasi. Kudapati FLP Malang kini justru mati suri. Pertemuan rutin tiap Minggu
pagi tak ada lagi. Kami jarang berkomunikasi untuk urusan organisasi. Padahal, bulan
Ramadhan Juli lalu, kami berkumpul untuk buka puasa bersama di basecamp. Setelah Lebaran kami bahkan bersilaturahmi
ke rumah Mbak Abyz Wigati, salah satu pendiri FLP Malang.
Sayup
pernah terdengar sindiran dari komunitas kepenulisan lain, katanya kami kurang
terjun ke masyarakat. Asyik sendiri. Intensitas pertemuan internal lebih mendominasi.
Mulai dari bedah karya, bedah film, sampai makan-makan dan karaoke.
FLP Malang memang lebih fokus kepada
para anggotanya. Kalau ada yang sakit, kami jenguk. Ada yang punya masalah,
kami hibur. Ada yang nikahan, kami datangi. Ada yang ingin ikut lomba atau
menerbitkan novel, karyanya kami bedah ramai-ramai. Kalau mau membela diri, bukankah anggota kami adalah bagian mikro
dari masyarakat?
Saat
itu kami sudah puas. Toh kami tetap bisa berprestasi secara personal maupun
secara organisasi. Deretan prestasi bersama misalnya menerbitkan dua buku
antologi berturut-turut selama dua tahun, dan akhirnya menjadi tuan rumah acara
Upgrading FLP Jatim 2016. FLP Ranting
UM dan UIN ikut berperan banyak di Upgrading.
Atmosfer kekeluargaan kental mewarnai hari-hari berorganisasi kami di FLP
Malang. Di penghujung masa perantauannya, nyaris semua anggota dari luar kota keberatan
meninggalkan kota. FLP Malang telah mengikat hati mereka, hati kami. Bahagia
memang sederhana.
Para pemeran film Ketika Mas Gagah Pergi pun pernah menyaksikan salah satu titik puncak FLP Malang baru-baru ini |
Namun, damai bisa melenakan. Dan hidup
selalu siap menyumbang goncangan atau sekedar getaran demi menggoyang kondisi
stagnan. Ketika kegiatan FLP Malang dihibernasikan, aku tak bisa menyalahkan
siapa-siapa. Karena saat keputusan itu diambil aku tak ada di sana, masih
terbelit dengan kondisi pribadi. Gambaran pola masalah itu seperti ini:
Ketika
diriku tumbang dan dirawat di rumah sakit menjelang semester akhir, Mbak
Fauziah Rachmawati (Zie) menjengukku beberapa kali. Menghibur dan menguatkan
hati orangtuaku. Bersama Agie Botianovi, aku diajak ke acara bedah buku Dalam
Dekapan Ukhuwah di UIN Maliki yang mengundang Salim A. FIllah. Hari itu aku
membeli buku yang sarat inspirasi.
Saat
diriku kembali ambruk menjelang skripsi, Mbak Diyah Wulandari berkali-kali merukyah
dan menerapiku dengan metode SEFT. Tak menjauh juga tak menghakimi. Darinya aku
belajar tentang konsep keikhlasan dan berlatih menerima takdir yang sudah
terjadi.
Suatu
ketika untuk kesekian kalinya aku mengurung diri. Mbak Wulan datang,
menjemputku untuk bermain basket di UIN Maliki. Di lapangan, Mahfuzh Huda,
ketua FLP Malang saat itu, sudah menunggu. Selesai bermain basket, mereka mengadakan
agenda rutin bedah karya. Aku dijebak dan diminta membedah cerpen seorang anggota
baru. Kemampuan berkomunikasiku kembali. Sekejap aku menjadi pengurus divisi
bedah karya lagi.
Perhatian
dan kasih sayang, dalam kasusku telah berkali-kali terbukti lebih manjur daripada
obat antidepresan.
Sesi bedah karya. Sederhana, tapi bikin kangen. |
Setelah
lulus, aku tak langsung jobhunt. Masih
dihantui riwayat sakitku. FLP Malang membantuku melalui masa freelance sekitar dua tahun. Suatu sore aku,
Mahfuzh, dan Maulida Azizah berjalan menyusuri jalan di belakang UIN Maliki.
Kuceritakan tuntutan orangtua untuk mencari pekerjaan tetap atau berumah
tangga. Kami terbahak-bahak. Bersama berbahagia di atas penderitaanku. Rasanya
ringan.
Kini
aku sudah punya pekerjaan tetap. Setidaknya sudah ada pegangan untuk alokasi
buku rutin. Tapi saat aku hendak kembali, seperti anggota perantau lainnya,
akhirnya mereka pergi.
Lalu,
penulis indie asal Batu kenalanku mengadakan bedah karya di pertemuan forum
taman bacaan sekota Malang. Usai pembedahan novel, para anggota forum taman
bacaan lainnya pun berbagi kisah tentang kegiatan taman bacaan di daerah
masing-masing dan bagaimana semua itu dipertahankan dan diperjuangkan.
Menurut
Mas Denny Mizhar dari Pelangi Sastra Malang, kelemahan organisasi kepenulisan adalah
anggotanya yang didominasi mahasiswa perantau yang pasti akan meninggalkan
Malang. Tapi taman-taman bacaan akan lebih awet karena berbasis "kampung".
Digerakkan oleh masyarakat sekitar, orang-orang yang kemungkinan besar akan
terus berdomisili di sini.
Mungkinkah
ini jawabannya?
Dan
kusiratkan gagasan dalam batasan spasi yang sangat terbatas ini sebagai pesan
S.O.S kepada para senior di FLP Jatim, anggota di Malang, pembina, dan siapa
pun yang masih peduli. Bisakah menangkap pesannya?
Dari
buku antologi FLP Jatim, Istana yangDibangun dari Kata-Kata, aku jadi tahu, pergerakan FLP tak selalu gemilang.
Pasang-surut dan mati suri silih berganti. Namun, mereka yang menuliskan
kisahnya di buku tersebut membuktikan: kebangkitan bukan hil yang mustahal kalau
diperjuangkan.
Maktub. Paulo Coelho
mengulang-ngulangnya dalam novel The Alchemist. Jika pertemuan dan perpisahan
kita, sampai mati suri ini sudah
digariskan oleh Sang Penentu Takdir, maka aku yakin bahwa kebangkitan FLP Malang
pun sudah termaktub juga. Tinggal kapan, bagaimana, dan siapa saja yang akan
mewujudkan visi kebangkitan itu.
“Jadi...
adakah yang mau menggali misteri kebaikan yang nilainya lebih baik daripada
dunia dan segala isinya, dengan menjadikan FLP Malang sebagai salah satu
medianya?"
Aku
mau.
Tapi
tak bisa sendiri.
Malang,
30 September 2016
Tulisan ini diikutkan untuk Lomba Menulis Essay Aku dan FLP Malang |
ConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic