Ayah dan Skripsi Anaknya

Sabtu kemarin orangtua Neko dan orangtua sekitar 200-an mahasiswa angkatan 200* (sori disensor =p) mendapat undangan eksklusif dari fakultas. Apa pasal? Karena kedua ratus anak ini masih betah melanjutkan studinya di fakultas sastra alias nggak hengkang-hengkang dari sana. Berkat itulah pihak fakultas lalu berinisiatif memanggil orangtua mahasiswa agar pihak keluarga mahasiswa sendiri bisa memotivasi si mahasiswa untuk segera menyelesaikan studinya. Bosan mereka melihat wajah-wajah lama. Setengah gemas dan prihatin juga mungkin. Di akhir acara, semuanya diberi kontrak studi. Jadi mahasiswa sendiri yang menentukan mau lulus kapan dia. Ini memang baru peringatan pertama. Kalau sudah molor sampai 14 semester nanti, pilihannya cuma 1: DO. Kecut juga. Kontrak studi tersebut harus  ditandatangani mahasiswa, pembimbing akademik, kepala jurusan, dan dekan. 


Agak enggan juga Neko dihadapkan dengan hal-hal birokrasi begini. Maunya Neko sih, biarkan Neko lebih konsentrasi dengan skripsi Neko yang sudah mendekati bab-bab terakhir ini. Neko bahkan belum sempat mengujikan produk skripsi Neko ke anak-anak SMP (kalau review dari dosen pembimbing dan dosen pembanding sih sudah). Sementara deadline semakin dekat. Tapi ya sudahlah. Ikuti saja daripada ada masalah menjelang yudisium nanti.


Maka, hari ini Neko pun kembali berburu tanda tangan pembimbing akademik, kepala jurusan, dan kali ini ditambahi satu, tanda tangan dari dekan. Nggak perlu jadi artis agar tanda tangannya diburu banyak orang. Jadi dosen pun lumayan ngetop! Neko menunggu pembimbing akademik selama setidaknya satu jam karena beliau masih mengajar. Sambil menunggu, Neko mengetik laporan hasil review dari dosen pembanding itu. Baru nyadar, kok banyak juga ya? Hahaha...selalu saja begitu. Sebelum ngetik mikirnya, "Ah, udah jelas kok pembahasannya. Cuma sedikit kok." Eh jadinya lebih banyak. 


Waktu menuju ruang kepala jurusan, Neko sudah membayangkan kalau ruangan di lantai dua itu bakal kosong karena kepala jurusan juga sedang mengajar dan Neko harus menunggu lagi seperti biasanya. Eh ternyata nggak! Waktu Neko ke sana, beliau malah sendirian. Sedang ngintip keluar dari jendela. Ngintip apaan yah? Hehehe... Alhamdulillah, urusan tanda tangan kepala jurusan pun tidak memakan waktu yang banyak. Hal-hal sederhana seperti ini patut disyukuri. Kepala jurusan malah menanyakan kondisi kesehatan Neko akhir-akhir ini. Maklum, semester pendek lalu, Neko sempat sakit sehingga target selesai skripsi pun molor. Ah...perhatian sekali Bapak ini.


Tinggal satu tanda tangan yang belum Neko dapatkan, tanda tangan dekan. Sempat bingung juga. Ini pertama kalinya Neko harus meminta tanda tangan dekan segala. Pak dekan sendiri sedang ngobrol dengan beberapa orang yang Neko duga sebagai mahasiswa S2 ketika Neko baru sampai di lantai dua gedung fakultas Neko itu. Apakah lebih baik Neko langsung menyodorkan surat untuk ditandatangani atau menunggu di kantornya saja ya? Soalnya beberapa dosen menolak kalau ditodong tanda tangan waktu bertemu di tempat yang bukan kantornya. Sebagian lain sih cuek-cuek saja dan langsung membubuhkan tanda tangan. Tipe kedua ini yang favorit Neko. Nah, Pak Dekan ini tipe yang mana?


Akhirnya Neko putuskan untuk menunggu di depan kantor. Kebetulan saat itu ada seorang bapak yang duduk di bangku untuk pengunjung. Posisinya juga tepat di depan kantor dekan. Orang setua itu nggak mungkin mahasiswa S1. Dari pembawaannya juga beliau bukan mahasiswa S2. Pasti orangtua murid. Bapak itu berkulit coklat tua dan wajahnya menyiratkan rasa lelah yang sangat.


Neko duduk di samping Pak kusir...eh bapak itu. Ia yang menyapa duluan, menanyakan apakah Neko juga sedang menunggu seseorang. Bapak itu sedang menunggu wakil dekan 1. Anaknya sendiri sedang mengurus KRS di kantor administrasi yang juga di lantai 2 itu.


"Semester berapa, Mbak?"


Kalau sudah berhadapan dengan pertanyaan seperti ini, Neko lebih suka memberi jawaban yang bersifat kualitatif daripada kuantitatif atau nominal. "Semester akhir, Pak. Sedang skripsi." jawab Neko.


Dia tersenyum kecil. Biasanya kalau sudah begini, orang yang peka akan langsung menghentikan pertanyaannya. Orang yang kurang ajar tidak akan puas dengan jawaban itu dan akan terus memburu hingga mendapatkan jawaban tentang jumlah semester yang sesungguhnya! Untunglah Bapak ini termasuk golongan yang pertama. 


Namun, kemudian dia melirik lembar DHS (Daftar Hasil Studi---semacam rapor keseluruhan masa studi) di pangkuan Neko. Dan bertanya sambil memajukan kepalanya, "Nilainya berapa?"


Hiaaaaa...rutuk Neko dalam hati. "Rahasia dong, Pak!" jawab Neko sekenanya. Bukannya malu dengan hasil studi Neko. Cuma takut sombong hahahaha...


Tanpa diminta kemudian dia bercerita kalau anaknya berasal dari Sastra Indonesia, sudah hampir 7 tahun kuliah (dugaan Neko mungkin semester 13) dan belum selesai juga. Neko berpikir wah, tinggal satu semester lagi, kalau anak itu nggak lulus-lulus dia bakal di-DO tuh!


Neko menanggapi sewajarnya. Hitung-hitung menunggu Pak Dekan datang ke kantor. "Tinggal skripsi saja ya, Pak?" tanya Neko.


Bapak itu memasang tatapan menerawang ke depan. Lalu menghela nafas, "Yah...memang nggak dikerjakan skripsinya."


Neko melongo. Hah? Sudah semester akhir belum ngerjain skripsi juga? Masak niat DO?


"Karena kerja ya, Pak?" pancing Neko.


Jawaban Bapak itu benar-benar membuat Neko semakin tertegun, "Dia sedang patah hati. Sama sekali nggak semangat ngerjakan skripsinya." Kini sudah jelas beban berat yang melanda lelaki itu. Pantas saja ekspresinya sedari tadi begitu terlihat lelah. "Ini saya sedang berusaha bertemu wakil dekan, mau bertanya bagaimana memotivasi anak saya ini."


Ya Allah... Neko jadi teringat dengan kata-kata Bu Ina yang menjadi perwakilan jurusan Sastra Inggris bahwa sebagian besar penyebab mahasiswa terlambat atau bahkan tidak menyelesaikan studinya adalah karena masalah-masalah non-akademis. 


Masalah hati... Berapa banyak orang yang hancur karena cinta yang belum saatnya? Teman Neko sendiri juga sempat mengalami hal yang sama. Putus dari pacarnya justru ketika sedang mengerjakan skripsi. Galaulah dia. Untung pada kasusnya, cerita berakhir happy ending. Dengan dukungan orang-orang di sekitarnya, teman Neko berhasil lulus, bahkan lebih dulu daripada Neko. 


Dulu Neko sempat menuliskan di blog ini juga tentang betapa galaunya Neko saat hati Neko dirasuki oleh virus bernama cinta. Dan semua itu dimulai cuma dari SMS. Teknologi saat ini ternyata juga bisa memuluskan hal-hal yang sifatnya meragukan seperti ini. Dari sebatas tulisan mengajak diskusi, berbalas puisi pendek dan sebagainya, lama-lama kemudian berkobarlah api bernama nafsu yang dikobarkan oleh setan. Malu juga Neko dengan fase-fase seperti itu. Sekarang Neko jadi lebih menarik diri. FB juga sudah tidak terlalu sering diaktifkan lagi. Kalaupun diaktifkan, Neko sudah nggak terlalu sering bikin status lagi.


Hati-hati dengan masalah hati. Masalah yang sepertinya sepele itu jika dibiarkan bisa berakibat fatal. Memang sudah fitrahnya manusia berbeda jenis kelamin saling menyukai, tapi jika perasaan itu tidak diarahkan, petaka yang akan sering terjadi. 


Beberapa saat kemudian, Neko permisi kepada Bapak itu, hendak menuju ruang administrasi karena Pak Dekan bukannya menuju kantornya, ternyata malah ke sana. Selesai meminta tanda tangan, Neko pun segera pulang. Masih ada bab pembahasa yang menunggu Neko. Saat Neko akan keluar gedung, Bapak itu menuruni tangga, dengan ekspresi wajah sedih yang tidak bisa Neko lukiskan. Tiba-tiba Neko jadi ingat ayah di rumah. Skripsi semester ini, insyaallah segera selesai. Semoga saja Bapak itu bisa menemukan jalan keluar yang sesuai buat anaknya...
Previous
Next Post »

2 komentar

Click here for komentar
Unknown
admin
October 22, 2012 at 4:25 AM ×

Semester berapa mbak? Saya Penasaran, membaca dari tadi. semester akhir itu bukan jawaban yang saya inginkan.. Sepertinya dari wajahnya semester 2 sihh, tapi lihat perilakunya, kayaknya masih ABABIL, mbak masih SMP yahh?

Reply
avatar
February 12, 2017 at 10:51 PM ×

Hei, Anak Hutan. Kembali sana kau ke hutan -_-

Reply
avatar
Thanks for your comment