Frase pertama judul postingan di atas diambil dari judul sebuah film yang (katanya blog author-nya 5cm sih) bercerita tentang sekelompok pemuda yang baru lulus kuliah dan kemudian dihadapkan oleh kenyataan sebenarnya seperti pergulatan mencari kerja dsb. Neko belum nonton sih, mungkin nanti hunting kalau revisi skripsi ini sudah beres.
Well, percaya atau nggak kebanyakan teman-teman Neko yang udah ngerasain wisuda duluan langsung amnesia kalau ditanya, "Eh, skripsimu dulu tentang apaan sih?". Biasanya mereka menepuk jidatnya sendiri sambil bilang, "Duh! Kok bisa lupa yah? Padahal, aku yang nulis sendiri loh," sebagai penguatan kalau mereka sama sekali nggak pakai jasa sindikat perjokian. Ada juga yang langsung mengibaskan tangan dengan jengah, "Duh...pokoknya gitu deh, Mbak..."
Hal yang membuat Neko berpikir sebenarnya selama kuliah nih apa aja yah yang kita pelajarin? Seolah setelah ujian selesai, pengumuman kelulusan diumumkan, dan kostum toga sudah diabadikan dalam bingkaian foto, ilmu-ilmu yang sudah diserap selama bersemester-semester itu menguap sudah.
Ada yang bilang kaya gini, "Kerja tuh lebih guampang daripada kuliah." Oh ya? Dilihat dari mananya dulu? Karena kalau kerja nggak usah berhadapan dengan skripsi, makalah dan tetek-bengeknya lagi? (Kecuali kalau kerja jadi joki skripsi). Karena kerja itu praktek-praktek-dan praktek? Lupakan teori-teori yang mengawang-awang itu.
Neko jadi inget sekitar dua semester lalu ketika Neko semangat-semangatnya mempelajari teori sastra (walaupun masih baru tingkat dasar) yang rumit-rumit itu sampai bela-belain sit-in di kelas jurusan Sastra Indonesia untuk persiapan satu semester sebelumnya. Well, kalaupun nanti Neko jadi guru, teori-teori itu mau dipakai buat apaan yah? Apa pentingnya tahu bedanya formalisme ama strukturalisme, jargon-jargon feminisme, post-modernisme, dan isme-isme lainnya, toh ntar di alam kubur juga nggak bakal ditanyain hehehe. (Yee...kalau kayak gitu mah, semua ilmu yang kita dapat di sejak SD sampai seuzur ini nggak laku dong? Buat apa belajar kimia? Toh nggak ditanyain di alam barzah nanti. Ngapain belajar matematika? Biar bisa ngitung timbangan amal sendiri? Heheh...) Well, bukannya mendadak fatalis sih, tapi teori sastra itu memang absurd. Di dunia sekalipun nggak jelas juga pemakaiannya gimana, kecuali kalau memang mau berprofesi sebagai dosen teori sastra atau kolumnis rubrik-rubrik sastra kalangan terbatas di koran. Ngajar di sekolah juga palingan kan ketemunya ama grammar-grammar lagi. Bye-Bye Derrida. Hola Betty Azaar!
Neko jadi inget gimana semangatnya Neko mengopi buku-buku teori sastra setebal bantal yang sampai sekarang pun belum sempat Neko telaah semuanya. Baru setelah skripsi selesai nih, Neko menatap hampa tumpukan fotokopi warna-warni yang menuh-menuhin lemari. Mau diapain yah?
Seseorang yang Neko kenal pernah mengeluarkan pernyataan yang sangat apatis. Pendidikan sekarang ini karena memakai sistem Barat, banyak mengajarkan ilmu-ilmu yang nggak berguna di dunia nyata nanti. Hmmm...?
Dosen Literary Theory Neko yang sekaligus merangkap sebagai dosen Filsafat Ilmu Budaya itu pernah membuat pernyataan yang membuat seisi kelas setep berjamaah.
"Tahu nggak kalau kalian semua diboongin sama dosen-dosen kalian selama ini?!"
HAAAAH?
"Lho iya kan. Apa kalian bisa menjamin kalau teman-teman kalian yang nggak masuk sekarang nggak mempelajari sesuatu yang bermanfaat di luar sana dibandingkan kalian yang sekarang duduk di kelas ini? (catatan: kebetulan memang kalau pas mata kuliah Filsafat, hampir selalu ada yang bolos di setiap pertemuannya)"
Beliau melanjutkan lagi dengan cueknya. "Ini kan ilmu boong-boongan. Kalian dibohongi selama ini dengan diajari ilmu-ilmu bohongan. Bedanya, saya di sini diuntungkan karena saya berbohong dan dibayar untuk melakukannya. Sedangkan kalian?" Sang Dosen tertawa sadis sejenak, "Sudah dibohongin, harus bayar pula. Bayarnya mahal. Sial triple kalian."
EEEEEH??? Neko sampai nggak tahan untuk mengeluarkan suara melengking.
"Setiap perkuliahan, dosen-dosen kan selalu ngasih kalian RPP lengkap dengan buku-buku literatur yang harus dibaca kan? Tahu nggak kenapa bukunya selalu ditentuin?"
Hening...
"Yah karena biar dosennya bisa keliatan lebih pinter dari kalian! Karena mereka udah baca semua bukunya. Jadi kalian mau tanya apapun mereka pasti bisa jawab!" Beliau terkekeh lagi. "Tapi itulah, kita semua terikat sistem. Dan kenapa sistem semacam ini dibutuhkan? Kenapa kalian harus belajar Filsafat Ilmu Budaya sebagai salah satu mata kuliah wajib? Yah dosen kan butuh makan."
Jiaaah....kok jadi apatis gini yah? Padahal, dalam ceramah-ceramahnya, Ustadz Yusuf Mansyur bisa membuat proses pencarian ilmu di kampus (apapun ilmunya itu...minumnya teh botol....Sos...Sweet!) terdengar begitu heroik, dengan gambaran sayap-sayap malaikat yang menaungi para pencarinya...hujan berkah....dst dst... Sungguh sangat bertentangan.
Yang jelas sekarang nggak ada yang lebih Neko inginkan selain bisa mengamalkan ilmu-ilmu selama ini sebelum keburu karatan. Kalau apa yang Neko ketahui bisa mencerahkan beberapa otak saja, rasanya pasti melegakan. Neko nggak mau membahas kata-kata dosen di atas. Capek mikir, capek ngetik. Efek setengah korslet dari skripsi menahun dan kejadian-kejadian melelahkan yang terjadi akhir-akhir ini. Mau refreshing dulu sambil ngerjain revisian. Saatnya membuka lembaran baru.
I'm running from the past, pursuing the future...
ConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic