Amira and Three Cups of Tea (kisah inspiratif keluarga AS yang mendirikan sekolah di perbatasan Afghanistan).
Penulis : Greg Mortenson & David Relin
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Terbitan: Qanita (2009)
250 Halaman
Hari ini Neko belajar satu hal dari kata-kata seorang kepala Desa Korphe (salah satu desa yang terletak di sekitar gunung K2--puncak tertinggi di dunia.) "Mungkin kami tidak berpendidikan. Tapi kami tidak bodoh. Kami telah bertahan hidup di sini dalam waktu yang lama."
Itu adalah salah satu kutipan dari buku Amira and Three Cups of Tea yang baru-baru ini Neko baca.
Kata-kata itu dikatakan Haji Ali--kepala Desa Korphe setelah Greg Mortenson mengawasi pekerjaan orang-orang desa dalam membangun sekolah pertama di desa yang letaknya agak menjorok ke jurang itu. Sebagai mandor, Greg sudah membuat semua orang menjadi gila. Begitu kata Haji Ali. Lelaki tua itu pun mengajak Greg beristirahat sejenak di rumahnya dan menyuruh lelaki Amerika yang tidak sabaran itu tutup mulut sembari mendengarkan beberapa kata bijak darinya.
Greg Mortenson yang merasa dibebani tanggung jawab oleh Jean Hoerni, penanggung dana terbesarnya, untuk segera menyelesaikan sekolah. Kalau membaca buku itu, maka pembaca bisa melihat bahwa walau baik hati dan dermawan, Jean Hoerni adalah orang yang galak dan suka mendesak. Tak heran Greg pun jadi gusar ketika pembangunan sekolah itu berjalan tidak secepat yang ia harapkan. Padahal, tentu saja ia tahu betapa sulitnya medan di sekitar lokasi untuk membangun sekolah itu. Terutama karena para lelaki yang sedianya menjadi tenaga untuk mengangkuti bahan bangunan dan membangun setiap batunya harus bekerja sebagai pemandu para pendaki gunung. Kebanyakan warga Korphe adalah orang miskin dan tidak berpendidikan. Anak-anak Korphe belajar di tengah udara dingin di luar rumah karena mereka tidak punya bangunan sekolah dan juga terlalu miskin untuk membangunnya.
Sebelum Greg Mortenson akhirnya membangun jembatan sebelum akhirnya sekolah, desa itu dipisahkan dari dunia luar oleh jurang yang menganga lebar. Pembangunan jembatan yang sangat vital itu rupanya tidak masuk perhitungan Greg sebelumnya.
Orang-orang Korphe yang tinggal menjorok ke arah jurang memerlukan jembatan itu dulu daripada sekolah. "Ya, jembatan besar dari batu," jelas Twaha (anak Haji Ali), juga dalam bahasa Inggris. "Sehingga kita bisa mengangkut sekolahnya ke Desa Korphe." (hal. 72)
Greg tentu saja kaget.
Sebelumnya, untuk bisa mencapai Desa Korphe lewat jalan biasa, orang-orang menggunakan box kayu yang digantung untuk melintasi tali di atas jurang (mungkin semacam kereta gantung versi primitif). Tak mungkin bahan-bahan bangunan dengan berat ratusan kilogram yang sudah dibeli Greg itu bisa diantarkan ke Korphe lewat box kayu itu kan?
Maka Greg terpaksa kembali lagi ke Amerika untuk mencari dana sebelum akhirnya kembali ke Korphe untuk memulai pembangunan jembatan.
Karena merasa diburu oleh waktu dan tanggung jawab, Greg tanpa sadar mungkin memperlakukan orang-orang desa yang membantunya membangun sekolah terlalu keras, sehingga akhirnya Haji Ali menegurnya secara halus.
"Mungkin kami tidak berpendidikan. Tapi kami tidak bodoh. Kami telah bertahan hidup di sini dalam waktu yang lama."
Pada saat itulah Greg Mortenson menyadari pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang tua yang tinggal di sudut puncak tertinggi di dunia.
"Kami, orang Amerika, mengira harus menyelesaikan segalanya dengan cepat... Haji Ali mengajariku untuk berbagi tiga cangkir teh, untuk mengurangi kecepatan dan menjadikan pembangunan hubungan antar manusia sama pentingnya dengan proyek-proyek pembangunan."
Pelajaran yang didapatnya itu masih ada lanjutannya,
"Dia mengajariku bahwa ada banyak hal yang harus kupelajari dari orang-orang yang bekerja bersamaku, jika dibandingkan dengan apa yang kuharap bisa kuajarkan kepada mereka."
Siapakah Greg Mortenson? Bagaimana dia akhirnya tergerak untuk memulai pembangunan sekolah pertama di Korphe dan selanjutnya di Pakistan, Afghanistan, dan pelosok-pelosok lain di wilayah Himalaya itu? Selengkapnya bisa dibaca di buku Amira and Three Cups of Tea.
Title Story: Berpendidikan tapi Bodoh
Ada berapa banyak orang pintar di negara ini? Jawabannya, tentu saja banyak. Setiap tahun selalu saja ada lulusan terbaik UAN, lulusan terbaik dari setiap universitas ternama di negara ini, belum lagi para penerima beasiswa baik dari dalam maupun luar negeri, tak terhitung juga para anak bangsa yang berhasil memperoleh medali emas-perak-perunggu di olimpiade-olimpiade sains internasional. Tanyakan kepada para pejabat negara yang biasa dihujat itu. Pasti sebagian besar sarjana (terlepas dari berapa persen yang ijazahnya ternyata aspal). Tapi kenapa permasalahan di Endonesa ini tak kunjung habis?
Apakah orang-orang pintar itu tidak tahu bila korupsi itu merugikan lapis kehidupan secara luas? Apakah orang-orang itu tidak ada yang tahu kalau narkotika itu berbahaya bagi kesehatan? Pendidikan itu penting. Kata orang-orang pintar itu. Tapi tidak semua anak bisa mendapat akses luas dalam pendidikan. Pendidikan itu penting. Agar kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting. Seloroh tokoh Muluk dalam film Alangkah Anehnya Negeri Ini. Ya...alangkah anehnya negeri ini? Alangkah aneh orang-orangnya. Tapi bukankah kehidupan sudah cukup aneh?
Orang-orang bejat memiliki status terhormat yang tinggi dalam kelas sosial. Orang-orang nggak jelas punya kesempatan luas untuk menyuarakan opini nggak jelasnya di depan publik dan tetap mendapat apresiasi. Rasanya kalau diteruskan tulisan ini jadi semakin klise saja.
Neko punya beberapa kisah yang mungkin lebih enak Neko ceritakan ketimbang keklisean di atas. Suatu pagi selesai satu mata kuliah, Neko berdiskusi dengan salah satu dosen Neko. Neko menanyakan beberapa hal tentang teori sastra kepada sang Dosen. Ia dosen dari wilayah sastra. Sedangkan Neko sendiri anak prodi pendidikan. Tapi ia tetap mau meladeni pertanyaan-pertanyaan Neko (yang mungkin sangat sepele di mata kampiun teori sastra seperti beliau). Menerangkan dengan bahasa yang bisa dimengerti Neko. Rasanya Neko malah belum pernah merasa nyaman berdiskusi dengan dosen pendidikan (UPS)
Di tengah-tengah diskusi, seorang dosen senior yang juga dari prodi pendidikan memanggil dosen sastra tersebut. Ia memanggil dosen Neko dengan sebutan "Le" (kependekan dari "Tole". Julukan untuk anak laki-laki). Lalu ia mempermasalahkan soal sandal yang dipakai dosen itu. Dosen Neko itu memang nyentrik banget. Siapa lagi dosen yang bisa ngajar pakai sandal dan minum kopi di kelas? Tapi dia ngajarnya enak. Itu yang penting buat Neko. Dosen sastra itu tergagap dan mengatakan kalau kakinya sakit jika memakai sepatu. Neko melirik kaki sang dosen yang dibalut sandal jepit.
"Waa...kakinya besar sekali." pikir Neko.
"Waa...kakinya besar sekali." pikir Neko.
Jadi mungkin alasannya untuk tidak memakai sepatu karena kakinya sakit justifiable. Pembicaraan terus berlangsung antara dua dosen beda prodi tersebut. Suasana semakin canggung. Diam-diam Neko mengirimkan death glare ke arah dosen senior tersebut. Harapan Neko terkabul (entah karena death glare atau semata takdir ^_^). Dosen senior itu lalu melangkah keluar dari ruang dosen dengan jengah.
Dosen sastra itu meneruskan diskusi dengan Neko. Tapi suaranya terdengar lebih tersendat-sendat. Ia pun lupa apa yang mau ia terangkan kepada Neko. Neko sebal setengah mati. Nggak seharusnya seorang dosen senior merendahkan dosen yang lebih junior di depan mahasiswanya kan? Kalau mau negur kenapa kok nggak secara private aja??! Yang begitu itu jadi dosen pendidikan?
Dan pola seperti ini lebih sering terjadi antara guru-murid. Guru mempermalukan muridnya di depan murid lain dengan harapan itu akan menjadi shock theraphy bagi murid lainnya. Tapi hal tersebut pastilah menimbulkan trauma di hati sang murid. Guru-guru seperti ini pastilah hasil produk pendidikan dari dosen-dosen seperti dosen senior tersebut. Yang jelas berkat kejadian itu, walau di depan Neko tetap berusaha terlihat memasang sikap hormat (ya iyalah... cari mati apa ngelawan dosen senior), tapi Neko nggak akan pernah menaruh respek sesungguhnya kepada dia. Neko rasa dia akan kena batunya suatu saat nanti. Let karma fuck you. Begitu kata 9gag.
Ada juga kejadian waktu Neko disuruh nyontekin teman pas UAN SD dan SMP. Guru-guru yang seperti ini guru model apa? Alasannya kita harus tolong-menolong dan sukses bersama. Kenapa kok dia nggak minta kami belajar kelompok aja? Lucu banget.
Waktu Neko PPL di SMA, seorang anak IPA curhat kepada Neko. Ia mengeluhkan beban tugas dan pelajaran SMA yang terlalu berat. Neko sendiri sering heran dan diam-diam bergidik melihat bagaimana kehidupan akademis mereka. Tugas tugas dan tugas tanpa memberi jeda bernafas. Kering. Sementara beberapa guru memilih melenggang keluar dan menyerahkan tugas mengajar kepada anak-anak PPL agar bisa bersantai membaca koran di kantor.
Nggak heran setelah bel pulang berbunyi, anak-anak itu dengan lega merenggangkan badan, menguap, meraih hape atau notebook untuk main game, atau bahkan langsung keluar kelas sebelum guru mereka selesai mengemasi barang-barangnya!
******
Orang-orang seperti Haji Ali dalam kisah Three Cups of Tea itu benar-benar memberikan pelajaran yang berharga. Bagi Greg dan bagi Neko. Orang-orang yang tidak berpendidikan seperti dia bisa jadi justru lebih memiliki kearifan dalam menghadapi hidup. Karena ia mau belajar dari kehidupan. Sebaliknya orang-orang dengan ijazah yang terkungkung dalam lingkungan akademis bisa jadi sebenarnya malah bodoh. Kita lebih silau melihat ijazah dan mengukur kepandaian orang dari nilai rapor belaka. Para pendidik lupa bahwa tujuan akhir mereka seharusnya adalah mendidik manusia agar arif, bukan hanya pintar dalam menjawab soal di atas kertas.
Mungkin kita sudah lupa dengan apa yang kita kejar selama ini. Kita telah menjadi robot yang hanya berorientasi pada proyek. Kita sudah lupa bagaimana seharusnya kita memperlakukan manusia.
Neko sampai sekarang masih bertanya-tanya kontribusi macam apa yang bisa Neko berikan kepada orang-orang di sekitar Neko seusai lulus? Ah... Setelah lulus skripsi, diwisuda, OK. Lalu cari kerja? Kerja yang bagaimana yang bisa menguntungkan tidak hanya bagi Neko tapi juga bagi masyarakat dan kehidupan?
******
Satu adegan dari buku yang hampir membuat Neko menangis.
Setelah gelap, di samping perapian rumahnya, Haji Ali memanggil Greg agar duduk di sebelahnya. Dia memungut Al-Qur'an. "Kau lihat betapa indah Al-Qur'an ini?" tanyanya.
"Ya." jawab Greg.
"Aku tidak bisa membacanya," ujar Haji Ali. "Aku sama sekali tidak bisa membaca. Inilah kesedihan terbesar dalam hidupku. Aku akan melakukan apa saja agar anak-anak di desaku tak pernah mengenal perasaan ini. Aku akan membayar berapapun agar mereka mendapat pendidikan yang patut mereka peroleh."
Ada berapa banyak di antara kita, orang-orang yang melek aksara ini yang bisa memahami dan memiliki rasa pilu sebesar Haji Ali?
Dalam hal ini saya 100 persen sepakat dengan Greg Mortenson, "Haji adalah lelaki buta huruf yang hampir tidak pernah meninggalkan desa kecilnya... Tapi dia lelaki terbijak yang pernah ada.
O my Holy Lord...protect me from vain knowledge...
Amen.
N.B: Neko sebenarnya beli buku ini tahun 2011. Tapi Neko baru memutuskan untuk membacanya hari ini karena adanya isu bahwa Greg melakukan pemalsuan fakta dalam bukunya. Ada juga tuduhan bahwa Greg tidak amanah dalam menjalankan yayasannya dan bahwa sekolah yang dibangun tidaklah sebanyak yang dilaporkan. Tapi Neko sudah membaca berbagai sumber termasuk tulisan dari seorang wanita yang benar-benar mengunjungi sekolah-sekolah yang dibangun Greg. Ia mendapati betapa bahagianya murid-murid perempuan di sana. Betapa optmisnya mereka ketika mengutarakan cita-cita mereka.
Jadi benar tidaknya tuduhan di atas, wallahualam. Yang jelas bagi Neko pribadi, inspirasi dari buku ini memang benar-benar nyata.
Links about this case:
http://www.altmuslimah.com/a/b/a/girls_in_pakistani_schools_speak_for_themselves
http://latimesblogs.latimes.com/jacketcopy/2011/04/greg-mortenson-responds-to-60-minutes-questions-about-his-three-cups-of-tea-story.html
http://www.ikat.org/ag/
http://www.cbsnews.com/stories/2011/04/15/60minutes/main20054397_page5.shtml?tag=contentMain;contentBody
N.B: Neko sebenarnya beli buku ini tahun 2011. Tapi Neko baru memutuskan untuk membacanya hari ini karena adanya isu bahwa Greg melakukan pemalsuan fakta dalam bukunya. Ada juga tuduhan bahwa Greg tidak amanah dalam menjalankan yayasannya dan bahwa sekolah yang dibangun tidaklah sebanyak yang dilaporkan. Tapi Neko sudah membaca berbagai sumber termasuk tulisan dari seorang wanita yang benar-benar mengunjungi sekolah-sekolah yang dibangun Greg. Ia mendapati betapa bahagianya murid-murid perempuan di sana. Betapa optmisnya mereka ketika mengutarakan cita-cita mereka.
Jadi benar tidaknya tuduhan di atas, wallahualam. Yang jelas bagi Neko pribadi, inspirasi dari buku ini memang benar-benar nyata.
Links about this case:
http://www.altmuslimah.com/a/b/a/girls_in_pakistani_schools_speak_for_themselves
http://latimesblogs.latimes.com/jacketcopy/2011/04/greg-mortenson-responds-to-60-minutes-questions-about-his-three-cups-of-tea-story.html
http://www.ikat.org/ag/
http://www.cbsnews.com/stories/2011/04/15/60minutes/main20054397_page5.shtml?tag=contentMain;contentBody
ConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic