Gadis Itu Berkaca-Kaca, Tapi Tak Menangis

Aku menghempaskan pantatku di atas jajaran kursi panjang di depan kantor jurusan. Lagi. Aku terdampar di sini. Termangu-mangu sendiri dalam sepi. Sepi yang ramai karena tak jauh dari sana, dari ruang sidang menjerit dengingan mesin bor. Sedang ada renovasi.


Pintu ruang jurusan tertutup. Dua kertas putih kecil dengan tulisan cetak "Mengajar" mengawasiku dari dalam slot transparan di samping pintu. Hari sudah siang, jelas saja kepala jurusan dan sekretaris jurusan sedang menjalankan tugasnya sebagai pengajar di suatu kelas, entah di gedung sastra sebelah mana. Sudah jam 13.30. Jam ke-7-8 baru berakhir jam 3 nanti. Kemungkinan bahwa aku harus menunggu sekitar 90 menit lagi membuatku kecut. Menyesal aku lupa bawa buku.


"Pak J barusan keluar. Kamu SMS aja." kata temanku yang sudah menyelesaikan urusannya di kantor wakil dekan.


Aku mengetikkan sebaris kata di layar hape, tapi kemudian langsung menghapusnya. Percuma saja. Umumnya dosen-dosen tidak mau diganggu dengan urusan tanda tangan ketika mengajar. Ujung-ujungnya sama saja. Aku tetap harus menunggu sampai beliau selesai mengajar.


Kupandangi surat pengajuan penelitian yang mengintip dari balik tumpukan kertas-kertas kuesioner di dalam map plastik merahku. Aku butuh tanda tangan kepala jurusan atau sekretaris jurusan sebelum menyerahkannya ke bagian administrasi untuk diajukan kepada dekan. Itupun setelahnya masih harus diresmikan oleh diknas. Baru aku bisa mengujicobakan produk penelitianku kepada anak-anak SMP itu. 


Drama kecil mulai bermain di otakku. Kira-kira bagaimana tanggapan kepala jurusan kalau melihatku siang itu. Bosankah ia karena sudah dua minggu ini aku terus bolak-balik menghadap untuk meminta tanda tangannya? Benar-benar fans sejati. Atau mungkin ia akan menegurku karena baru mengajukan berkas izin penelitian padahal deadline pengumpulan skripsi sudah merong-rong di depan mata. Adegan yang lebih mengerikan menari-menari di sudut otakku: kepala jurusan ternyata sudah pulang, sedangkan aku sudah terlanjur berlumut dan harus pulang dengan tangan hampa. Lalu mengulangi rutinitas yang sama lagi esok harinya.


Seharusnya aku datang pagi-pagi  sehingga tak perlu aku menyiksa diri berlumut selama 90 menit ke depan. Tapi aturan birokrasi menetapkan urutan yang paten dalam tata cara permintaan tanda tangan. Harus urut, mulai dari diriku sendiri, mahasiswi tak berpangkat, lalu dosen pembimbingku, terakhir baru kepala jurusan. Sedangkan dosen pembimbingku baru bersedia ditemui siang hari karena ia sibuk menguji tesis mahasiswa-mahasiswa S2.


Seorang gadis berjilbab tiba-tiba melenggang di depanku. Tangannya mengenggam beberapa amplop putih. Mungkin undangan rapat untuk dosen-dosen itu. Aku kenal wajahnya. Dia adik kelasku yang magang di Self Access Center sejak semester lalu. Kami sering bertemu tapi aku tak pernah ingat namanya.


"Pak J nggak ada ya?" tanyanya padaku. Padahal, sudah jelas-jelas pintu kantor tertutup dan ada tulisan MENGAJAR di samping pintu.


Dia mondar-mandir dengan gelisah beberapa saat lalu duduk di sampingku. Aku tak mengharapkan percakapan yang berarti dengannya karena aku memang tak terlalu kenal apalagi dekat dengannya. Tapi setidaknya aku tak sendirian. Ada kawan senasib. Dia menjulurkan lehernya mengintip ruang wakil dekan 3 yang berada tepat di seberang ruang kepala jurusan Sastra Inggris. Wakil dekan sendiri sedang menerima tamu, seorang  bapak dengan anaknya yang masih SD (tapi ga mungkin kan kalau Bapak itu akan mendaftarkan anaknya sebagai mahasiswa di kampus ini huahaha konyol).


"Aku interupsi sebentar nggak papa kah Mbak?" 


"Tunggu aja." jawabku sambil tersenyum. Beberapa dosen tak suka kalau disela saat sedang berbicara dengan orang lain. Tapi mereka sendiri suka menyela mahasiswa yang sedang mengobrol dalam kelas! (ya iyalah!)


Adik kelasku itu menggerutu sambil tersenyum (kombinasi yang aneh). Ekspresinya tampak gemas dan setengah ngeden. Mungkin ia lupa ke kamar mandi sebelum mendaki lantai dua tadi. Lalu ia berdiri dan membuka pintu ruang jurusan dan menunaikan tugasnya yang mulia sebagai kurir surat. Lalu ia mondar-mandir lagi di depan ruangan wakil dekan 3.


"Aku langsung masuk aja ya?" tanyanya meminta persetujuanku.


"Tunggu ajalah. Nggak enak kan sedang ngobrol disela." saranku. Sebenarnya itu saran yang berbau sedikit licik. Aku tak rela ditinggal sendirian secepat itu.


Tapi rupanya ia gadis yang pemberani. Ia berdiri di depan ruangan, mengetuk pintu, lalu masuk dan menyerahkan surat kepada sang wakil dekan.


"Nah beres kan." ujarnya kepadaku sambil tersenyum penuh kemenangan.


Aku diam saja. Sendiri lagi deh. Tapi mungkin lebih baik sendirian daripada bersama seseorang yang kamu kenal tapi nggak bisa diajak ngobrol. Lalu aku berusaha mengingat-ingat salah satu adegan komik ARIA tentang the art of waiting. Ceritanya tentang seorang gadis pengayuh gondola yang menunggu kawannya di sebuah jembatan yang menghadap sungai. Gadis itu menunggu sampai berjam-jam lamanya tanpa mengeluh. Dengan cerianya ia berkata bahwa ia suka kegiatan menunggu karena dengan begitu ia bisa memperhatikan detail-detail kecil drama kehidupan yang berlangsung di sekitarnya. Tapi keadaan itu tentu saja nggak sama dengan kondisiku saat ini. Gadis dalam komik itu menunggu kawannya di depan jembatan desah Venezia, sambil menikmati hembusan angin dan pendaran matahari terbenam di permukaan air. Bahkan ia bisa mengisi waktunya dengan memberi makan itik-itik di bawah jembatan. Lagipula mood-ku sedang buruk sekarang. 


Iseng aku mencoba membuka internet dengan fasilitas WIFI di HP-ku. Tumben bisa. Kubuka FB, lalu blog, tapi karena tak ada hal menarik yang bisa dikomen atau ditulis, aku jadi frustasi dan langsung mengakhiri kegiatan ngenetku tak lebih dari 5 menit kemudian. Tak lama setelah itu, seorang mahasiswi berjaket almamater mendekatiku. Kali ini aku juga mengenalnya. Kami pernah sekelas di mata kuliah statistik dan phonology beberapa semester lalu. Dia juga adik kelasku. Melihat jaketnya, lalu tas jinjingnya yang tampaknya berat, jelas dia baru selesai dari PPL. Rupanya dia juga menunggu Pak J untuk urusan yang sama: minta tanda tangan untuk surat izin penelitian. Kali ini aku benar-benar mendapat teman mengobrol.


Aku terperangah melihat judul skripsinya. Ia akan mengadakan penelitiannya di TK. Canggih bener itu TK. 


"TK sekarang sudah ada pelajaran bahasa Inggrisnya?" pancingku. Sebenarnya aku tahu kalau beberapa TK bernama bule tempat sekolah anak-anak konglomerat chinese sudah mengajarkan bahasa asing itu sejak dini. Tapi nama TK itu sama sekali tidak berbau kebule-bulean atau keborju-borjuan. Terlintas di otakku betapa berat beban belajar anak-anak jaman sekarang.


"Di desa aja sekarang TK ngajarin bahasa Inggris Mbak (desa  yang mana?). Tapi cuma sebatas lagu anak-anak, yang sederhana-sederhana gitu deh." jawabnya.


Kami bercakap-cakap lagi. Ia agak terperangah mendengar deadline waktu pengumpulan skripsi dariku. "Waduh kalau tanggal segitu mana bisa, Mbak. Anak-anak kan pada PPL semua. Waaa..." ia tampak gelisah.


"Diperpanjang satu semester lagi?" usulku. Skripsiku saja sudah molor beberapa semester karena aku sakit, dsb.


"Nggak mungkin Mbak... Aku pingin cepat lulus terus kerja setelah ini. Adikku tahun ini pingin kuliah, dan dia sudah nunda setahun nunggu aku." desahnya.


Aku tertegun. Lalu aku mengatakan kepadanya kalau kepala jurusan sempat mengatakan kalau waktu pengumpulan skripsi sebenarnya bisa diundur, tapi lebih baik berpatokan pada pengumuman daripada bergantung pada 'belas kasihan' kampus.


"Aduh aku sakit perut Mbak. Aku tak ke kamar mandi dulu. Aku titip tas ya Mbak." ujarnya lalu terbirit-birit sambil meremas perutnya.


Aku sendiri lagi. Sekitar 10 menit kemudian kepala jurusan datang! Aku terperangah. Kulihat HP. Jam 14:30. Beliau datang lebih cepat setengah jam! Aku bingung, tapi bagaimana dengan berkas adik kelasku ini? Kepala jurusan terkenal dengan adatnya yang suka menolak 'berkas-berkas titipan'. Semua mahasiswa harus berhadapan satu lawan satu dengannya kalau membutuhkan tanda tangan. Tidak ada kata 'nitip' dalam kamus beliau. 


Akhirnya aku masuk ke kantor sambil membawa berkasku. Dia menandatanganinya tanpa banyak tanya. Segera kuserahkan suratku pada bagian administrasi. Aku kembali dan mondar-mandir dengan gelisah. Adik kelasku itu belum datang juga. Sakit perutnya agak parah rupanya. Bahkan ketika kepala jurusan keluar lagi dari kantornya pun ia belum kembali!


Mulutku menganga, "Bapak mau kemana?' tanyaku. Berharap bahwa ia hanya keluar untuk urusan sebentar. Tapi ia mengeluarkan jawaban yang sama sekali tak kuharapkan walau sudah kuduga. 

"Ya pulang."


Mukaku pucat. "Bapak bisa menandatangani berkas adik kelas saya juga? Tadi pagi dia sudah ke sini tapi tidak bertemu Bapak. Lalu dia harus pergi lagi karena PPL."


Bapak itu menatapku beberapa saat seolah bertanya, "Lha lalu apa urusanmu?". "Waduh...tidak bisa. Besok saja dia menghadap saya." jawabnya saklek.


"Kasihan anaknya Pak. Dia sudah menunggu Bapak dari tadi..." ujarku terbata. Karena gugup aku sampai lupa bilang kalau adik kelasku itu sedang sakit perut dan sekarang masih di kamar mandi.


"Memangnya dia kesini jam berapa? Nggak mungkin dia nggak ketemu saya lha wong saya sudah di kantor sejak pagi." tegasnya sambil siap-siap menuruni tangga.


Aku semakin gelisah, "Yah...katanya sih jam 9. Tapi dia tidak bertemu Bapak..." Aku masih gugup sehingga tetap lupa mengatakan bahwa anak itu sudah menunggunya siang ini juga dan sekarang sedang sakit perut.


"No! No! No! Nggak bisa itu. Besok dia harus menghadap saya sendiri." ia langsung menuruni tangga sambil menggumam, "That's really bad approach. Bad bad approach!"


Selalu saja begini. Orang yang pangkatnya lebih tinggi selalu tidak mau mengerti urusan kaum yang berada di urutan paling bawah rantai makanan. Teringat aku dengan cerita gadis itu tentang adiknya. Betapa bingungnya gadis itu saat tahu deadline skripsi yang sudah semakin dekat. Bahwa ia harus membuang waktu satu hari lagi untuk meminta tanda tangan lalu menunggu lagi hingga surat izin itu dikeluarkan. Ah...

Sekitar sepuluh menit kemudian adik kelasku kembali. "Hey, kok lama? Pak J sudah pergi!"


Gadis itu terperangah. Tanpa kuduga, dua bola mata beningnya berkaca-kaca. Tetapi dia tidak menangis. Tidak menangis.
Previous
Next Post »

4 komentar

Click here for komentar
Unknown
admin
October 23, 2012 at 10:32 AM ×

Iyo.. Mau tak Kill Aja kalau lihat dosen gitu.. Suatu saat, aku mau juga jadi sniper gratisan.. yah nembakin manusia2 macam dosenmu itu

Reply
avatar
October 24, 2012 at 1:14 AM ×

Haih, jadi kepala jurusanku aja ntar

Reply
avatar
Rie Rie
admin
October 24, 2012 at 8:11 AM ×

mang si adik ngapain nginep lama-lama di toilet...

Reply
avatar
Thanks for your comment