[CAT'S REVIEW] Mas Gagah, Kalau Pergi Hati-Hati Ya...

Mas Gagah, Kalau Pergi Hati-Hati Ya...

Gusti A.P.
(FLP Malang)

Didukungnya kisah Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) oleh para pembacanya sampai akhirnya bisa difilmkan adalah suatu fenomena tersendiri. Terutama jika melihat testimoni mereka yang mengatakan KMGP adalah salah satu media pengantar hidayah bagi mereka. Kisah yang dikatakan begitu menyentuh hingga membuat mereka terpacu lagi untuk lebih mendalami Islam dan hijrah... Masyaallah... Betapa kata-kata yang diukir dengan kebaikan pun sanggup mengerakkan hati sedemikian banyak orang.


Perkenalan saya dengan cerpen ini sendiri sebenarnya bisa dibilang terlambat. Cerpen remaja Islami yang booming pada tahun 90-an ini baru saya baca di masa kuliah semester sekian-sekian. Tahun 2010-an mungkin. Kala itu saya sudah lebih banyak mengonsumsi kisah-kisah penulis jebolan FLP yang lain, dengan konflik dan sajian tema yang lebih rumit. Sebelum mengenal KMGP saya sudah lebih dahulu mengenal karya Mbak Helvy Tiana Rosa melalui Jaring-Jaring Merah yang begitu mencekam dan getir. Lalu cerita Lelaki Semesta yang simbolisasinya begitu menyentuh. Juga Lelaki Kabut dan Boneka yang dari cara penyajiannya begitu multiinterpretatif.


Cerita yang membuat saya mulai “ngeh” dengan tema “hijrah” malah serial Olin, karya duet Ali Muakhir yang formatnya novel-komik. Sebelumnya juga pernah beberapa kali membaca serial bertema serupa dari majalah Ummi. Intinya, cerita seseorang yang tadinya tidak berhijab lalu mau menggunakan hijab, yang tadinya bukan aktivis dakwah lalu jadi yang berada di garda paling depan barisan dakwah...  adalah tema yang saya anggap paling mainstream dalam dunia fiksi Islami. Jadi waktu Ketika Mas Gagah Pergi difilmkan, saya punya ekspektasi lebih, berharap tampilan visual yang baru ini bisa membuat saya lebih terkesan dengan kisah ini. Apakah harapan saya terpenuhi? Itu yang ingin saya tuangkan di sini. Semoga berkenan.
***
Kesan. Itulah yang ingin saya kejar saat ingin menonton film ini. Apa impresi yang bisa menggerakkan hati para aktivis dakwah di tahun 90-an, orang-orang yang begitu mendukung kisah ini hingga sekarang? Sepertinya pengaruhnya besar sekali? Kenapa? Bersama kawan-kawan sesama anggota FLP, saya sempat ikut larut dalam gempita kabar diwujudkannya kisah ini ke layar. Kapan Mas Gagah Pergi ke bioskop? Haha...begitulah...


Uniknya, ketika pemuda bernama Hamas tampak begitu ditonjolkan sebagai pemeran Mas Gagah, saya adem-ayem. Yang membuat saya penasaran malah aksi “Mbak Gagah” alias Gita, adik Mas Gagah yang diperankan oleh Aquino. Sejak zaman Lima Sekawannya Enid Blyton, tokoh gadis kelaki-lakian alias tomboy bernama George (aslinya Georgina) bisa dibilang sudah menjadi role model saya. Terutama karena saat kecil ayah sendiri memperlakukan saya seperti anak laki-laki. Rambut saya selalu dipotong pendek, dan sampai sekarang lebih suka pakai celana daripada rok. Lebih suka T-Shirt daripada gaun. Dulu saya adalah “Gito”, tapi dalam versi mini. Karena setelahnya, untuk “mengerem” ketomboyan ini, orangtua segera memakaian hijab. Ya, sejak kelas nol besar TK. Tahun 90-an. Bisa dibilang saya termasuk angkatan-angkatan pertama dari masa itu yang sudah mengenakan jilbab. Bahkan sebelum guru-guru agama SD saya memakai jilbab.


Figur tokoh George dan sederet tokoh cewek tomboy lainnya (seperti dari Makoto Kino dan Haruka Teno dari Sailor Moon) fiksi lainnya membuat saya berpikir, jadi cewek tomboy = keren. Cewek tapi jagoan dan nggak kalah sama cowok. Percaya atau tidak, saya jadi beneran ikut heboh KMGP di media sosial justru setelah melihat gambar Gita bergelantungan di pohon seperti monyet lincah! Dan saya pun nonton bersama teman-teman.



Poster yang langsung bikin saya penasaran dengan aksi Gita alias Gito. Eh itu gelantungan di pohon atau pagar sih? Hahahahaha

Dari awal nonton, aksi Gita bersama Gagah bikin gemes-gemes gimana gitu. Jerit-jerit kecil sendiri di bangku bioskop paling pojok (untung di pojok, jadi nggak menggangu penonton lain). Saya sepertinya undiagnozed brother complex, tapi sayangnya malah nggak punya kakak cowok. Bahkan sama sepupu laki-laki pun tak seberapa dekat. Jadi melihat kedekatan Gita dan Gagah itu benar-benar menimbulkan gelitik tersendiri.  So unyu. Saya begitu menikmati gambaran adegan di mobil ketika keduanya berjanji untuk backpacker-an bareng. Hebatnya, kemanjaan Gita dan sikap cool Gagah saat menghadapi tingkah adiknya yang kekanakan ini bisa tersampaikan dengan baik meski tak ada sentuhan secara fisik sama sekali! Ini tentu susah.


Have fun, work hard, PLAY HARD! XD


Saya jadi ingat saat kuliah, ketika saya menulis skenario untuk tugas kelompok drama. Di sana saya menceritakan sepasang kekasih dan menambahkan dialog full romance, dengan harapan para aktor-aktrisnya bisa menerjemahkan keromantisan hubungan sepasang kekasih hanya lewat kekuatan dialog dan gestur. Prakteknya? Para aktor-aktrisnya memaksa bergandengan tangan bahkan saling mengaitkan lengan. Sutradara yang juga berjilbab malah setuju, dan saya frustrasi sendiri dibuatnya. Sampai-sampai di tugas drama semester selanjutnya saya menolak bertanggungjawab terhadap skenario lagi, dan lebih memilih menangani bidang musik.  Jadi apa yang sudah dilalui kru KMGP untuk menyajikan adegan-adegan yang tidak bertentangan dengan hukum syariah ini patut diapresiasi. Perlu perjuangan panjang agar model penggarapan seperti ini bisa dibudayakan dan menjadi panduan bagi pengerjaan adegan film-film Islami lain. Bahkan yang seperti 99 Cahaya di Langit Eropa pun tidak luput dari adegan sentuhan fisik meski sangat minim. Meskipun konteksnya suami-istri, tapi di kehidupan nyata kan bukan.


Wulan Guritno juga bisa memainkan peran sebagai tokoh ibu yang berusaha memahami konflik Gagah dan Gita dengan baik. Jujur saya sampai merasa Wulan Guritno benar-benar ibu bagi mereka lho. Dari tatapannya, gesturnya, kerutan di tengah kedua alisnya, nada bicaranya, semua sudah begitu menerjemahkan aura keibuan. Gagah bahkan tak perlu sampai beradegan cium tangan agar Wulan Guritno “diakui penonton sebagai tokoh ibu”.  Chemistry ketiga tokoh ini sudah sangat didapat lah.


Mom's stare, typically said "Yang rukun ya, Anak-anak!"

Nah, setelah paragraf ini (ehm!) saya akan mulai membahas ke soal kritikannya nih. Saya berharap kritikan ini tidak diartikan negatif sebagai rentetan kesoktahuan saya sebagai orang di luar industri perfilman. Semoga kritikan ini bisa menjadi masukan jika film-film remaja Islami berikutnya akan digarap menyusul KMGP.
***
Di atas tadi saya bilang bahwa film ini sudah begitu menghanyutkan saya sejak adegan janji backpacker-an di mobil antara Gagah dan Gita terjadi. Tapi kemudian, begitu adegan Gagah kembali dari Ternate, barulah sense of critics saya mulai on. Adegan di bandara ini digambarkan begitu unik. Eksekusinya di layar jadi nyaris tak ada jeda antara kepergian dan kepulangannya... Hal yang menurut saya lebih pantas diterapkan bagi film komedi. Seperti adegan pembuka di Film City Hunter. Ketika tokoh utama mengoceh soal temannya yang menitipkan adik perempuan untuk dia rawat setelah meninggal. Tokoh utama mengomel soal tanggung jawab barunya sambil berjalan menuruni tanggal melingkar. Adik perempuan temannya yang masih bertubuh kecil mengikutinya dari belakang. Tokoh utama lalu menghilang dari layar saat ia mencapai dinding yang menutupi daerah tangga melingkar dari pandangan penonton, dan gadis cilik itu mengikutinya. Begitu tokoh utama yang diperankan Jackie Chan itu kembali muncul di layar, ia langsung dibuat terkejut karena gadis cilik di belakangnya itu tiba-tiba berubah jadi aktris dewasa yang sangat cantik.  Sayangnya, KMGP dan adegan bandara tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk memancing tawa penonton. Mulai dari situ saya mulai bertanya-tanya, “ada berapa lagi eksekusi eksperimental di layar” dalam film ini?


Keheranan tokoh Mama dan ketakjuban Gita saat melihat Mas Gagah pulang juga menurut saya berlebihan. It’s not that Gagah had changed that, much, Girls! Dia hanya kembali sambil mengenakan baju koko, celana cingkrang, dan jenggot tipis yang menghiasi dagunya. Kalau perubahannya begitu kontras seperti Teuku Wisnu yang jenggotnya lebih tebal dari bunga kol itu sih, saya masih bisa memaklumi ketercengangan mereka berdua. Tapi ini? Bukannya ketiga atribut tersebut sudah dianggap biasa di masa kini? Kalau saya di posisi Gita atau tokoh Mama, saya nggak akan bertingkah seperti melihat alien. Saya bakal godain si Gagah sampai mampus. Tapi masih menganggap hal itu wajar. Bisa jadi saya mungkin akan menganggap baju koko dan celana cingkrang sebagai fashion semata, dan memaklumi jenggot tipis dengan alasan, “Biasa, anak habis skripsi, sibuk sampai lupa rawat diri.”


Dalam hal ini, keputusan untuk memindahkan seting KMGP jadi kekinian malah jadi bumerang. Menurut saya, biarlah atmosfer keterasingan jilbab, aktivis dakwah dan segala yang berbau Islami di tahun 90-an terpapar sebagai catatan sejarah bagi para penonton. Saya dan teman-teman seangkatan mengenang tahun-tahun tersebuti sebagai tahun ketika memakai jilbab berarti terancam susah dapat pekerjaan dan cari jodoh di masa depan. Tahun-tahun itu adalah masa ketika saya harus membuka jilbab hanya untuk foto wisuda. Sebelumnya, teman-teman SD saya selalu berusaha mengintip isi jilbab, menarik-narik, bahkan mengolok-olok saya sebagai ‘genderuwo putih’ dari Senin dan Kamis, dan ‘genderuwo coklat’ dari Jumat sampai Sabtu. Julukan yang fleksibel, disesuaikan jenis seragam dan warna jilbab yang saya pakai ke sekolah.


Tahun 90-an adalah era ketika murid-murid madrasah negeri bahkan tidak diwajibkan memakai jilbab. Masa saat ibu saya difoto dengan ekspresi pucat menghadap kamera di kartu SIMnya, karena dipaksa membuka jilbab juga. Era tersebarnya isu ninja pengacau masyarakat dan sebagainya. Seharusnya hal-hal semacam itu dibiarkan saja. Akan lebih relevan bagi orang-orang di sekitar Gagah untuk langsung menolak pemuda itu hanya dari tampilan luar jika setingan waktunya masih di tahun 90. Bukan di zaman ketika jilbab dan baju koko sekarang jadi komoditi fashion seperti sekarang. Gegar zaman ini membuat saya jadi berpikir, “Segitu kupernya kah Gita, keluarga, dan teman-temannya sampai bereaksi lebay terhadap hijab, dakwah dan segala pernak-perniknya?”


Paling sebal dengan reaksi teman perempuan Gagah dari agensi model. Tingkahnya melihat sosok berkoko dan berjenggot tipis Gagah kaya ngeliat setan. ARGH! Ini bikin saya agak lost feeling saat masalah menolak salaman diangkat oleh Gita. Padahal, isu soal salaman ini signifikan dan aktivis dakwah banget.


Perubahan sikap Gita yang agak melunak terhadap aktivis berjilbab seperti anak-anak Rohis di sekolahnya pun terkesan mendadak. Tahap pertama perubahan itu hanya dirangkum dalam satu kalimat pendek bernada kekaguman yang dibisikkan Gita (dengan keras) terhadap temannya, “Ternyata anak-anak Rohis keren-keren ya!”


Ng? Why? What made you said that, Darling? After the harsh reaction toward Islamic matters that you showed us for all of this time? Dialog tersebut jadi terdengar seperti dialog kanak-kanak dalam pertunjukan kanak-kanak yang para tokohnya bisa berubah dari negatif menjadi lebih positif dalam satu kedipan mata. Toh ternyata saat sang teman yang hobi ngoceh bahasa gaul itu memakai jilbab, Gita tak bisa menerimanya. By the way, ketika film berlangsung, saya malah jadi lebih menyukai tokoh teman Gita dengan ocehan “Nocin-nocin”nya itu daripada Gita. Ngegemesin. Kocak alami, padahal biasanya tokoh “gaul” semacam ini akan dieksekusi dengan sangat buruk di sinetron-sinetron remaja. Kenapa saya berpindah hati?


Karena sikap manja Gita kepada Gagah yang awalnya begitu menggemaskan berubah jadi melelahkan. Ekspresinya hampir sama semua di tiap scene. Kalau nggak mengernyitkan kening atau mata dengan pandangan meremehkan, bibirnya setengah mangap seolah ingin mengatakan, “Iiih...” Tingkah kekanakan Gita yang super duper over membuyarkan harapan saya akan role model cewek tomboy yang baru. Cewek tomboy yang gagah dan nggak kalah sama cowok. Bahkan ia tak berkutik saat disandera pencopet di bus.


Hal-hal kecil soal perubahan Gagah yang terus-menerus dia permasalahkan begitu menjengkelkan. Satu-satunya hal signifikan yang menurut saya layak dijadikan bahan perseteruan kedua saudara kandung itu adalah soal janji backpacking yang dilanggar Gagah meskipun dengan alasan yang bagus. Pada saat itu barulah rengekan Gita soal, “Tampilan agamis tapi nggak bisa pegang janji,” terasa signifikan. Oh, satu lagi. Soal privasi Gagah yang dilanggar Gita dengan mengintip isi laptop kakaknya. Ya, hanya dua itu.


Adegan pertentangan dua saudara ini yang lain terasa  awkward dan dipaksakan. Misalnya Gagah yang sengaja melantunkan ayat Qur’an keras-keras saat di mobil bersama Gita. Apa harus sekeras itu? Reaksi Gita yang seperti kepanasan dan jengah luar biasa membuat saya berpikir apa gadis ini perlu dirukyah. Menurut saya adegan ini bakal lebih smooth kalau digambarkan simple dengan Gita yang memutar musik keras, lalu diganti “dengan semena-mena” oleh Gagah dengan murottal Qur’an atau nasyid. Lakukan adegan ini beberapa kali, kita akan bisa langsung memposisikan diri sebagai Gita yang ikutan kagok melihat perubahan Gagah. (Ngomong-ngomong ayat yang dibacakan Gagah itu salah satu ayat Qur’an terjleb favorit saya. Sentilannya membuat saya selalu berpikir apakah masih ada nikmat Allah yang sedang saya abaikan begitu saja).


Sikap Gagah sebagai “ikhwan yang baru dicelup” sebenarnya adalah salah satu pola perubahan aktivis dakwah yang paling sering terjadi. Apa-apa langsung terasa salah, tak sesuai standar, dan harus dia ceramahi. Dia juga memaksakan perubahan terhadap Gita seperti menawarinya pakai rok (saya saja sampai sekarang enggan pakai rok!). Tapi karena eksekusi cerita film ini lebih ditekankan kepada dialog dan bukannya atmosfer film, kesan menggurui dan preachy begitu kentara. Dan kita tahu kan bagaimana sikap remaja dan orang sekarang kalau merasa digurui? Rolling eyes.


Adegan Yudi yang berdakwah dari satu bus ke bus juga lebay. Apa ada yang seperti itu di dunia nyata? Kalau ada contoh nyata, mungkin saya akan menganggap adegan ini lebih wajar. Seingat saya tokoh Yudi dan aksinya ini tak ada di versi cerpen. Berarti adanya di versi novelet dan novel. Tetap saja... Apa tak ada penggambaran adegan yang lebih mengena dan less preachy? Seolah adegan ini dibuat hanya untuk memberi alasan bagi Yudi untuk bersilangan dengan kehidupan Gita. Adegan soal latihan Yudi di panggung teater dengan naskah bertema Palestina sebenarnya ide yang bagus. Film remaja mana lagi sih yang bisa bawa-bawa isu kepedulian soal Palestina? Ya cuma KMGP! Ini relevan juga karena pihak produksi sudah menjanjikan untuk menyisihkan sebagian keuntungan demi menyumbang Palestina. NAMUN, mengapa adegan teaternya hanya dibuat murni monolog dan orasi yang lagi-lagi terkesan menggurui? Tak bisakah membuat kesan panggung di dalam panggung? Cerita tersendiri soal naskah drama Palestina yang digarap tak kalah seriusnya dengan film utamanya. Buat saja dramatis dan terkesan gagah. Seperti panggung kisah Peter Pan dalam Finding Neverland. Agar lebih mengena di hati remaja dan orang-orang yang biasa memainkan kata “Remason” sebagai plesetan dari “Freemasonry” dan “Wahyudi” untuk memainkan kata “Yahudi”. Buat agar isu Palestina itu terasa lebih nyata dan signifikan. Sayang sekali...



Apa ada yang ngelakuin kayak gini di dunia nyata?

Anehnya, dengan aksi Yudi yang begitu full throttle malah ditentang oleh ayah yang tampaknya juga pemuka agama di rumahnya. Why? Ternyata karena Yudi lebih memilih dakwah di luar tapi abai dengan dakwah di lingkungan sendiri. Ada isu Yudi ingin menyusul sang kakak dan karena sebelumnya Yudi main di teater dengan naskah drama Palestina, saya pikir sang kakak memang sedang ke negara itu. Tapi itu pun tak terjawab hingga akhir film. Soal alasan ketegangan Yudi dengan ayahnya pun baru bisa dimengerti saat mencermati dialognya satu-satu. Mengapa tidak dibuat lebih filmis dan sinematik dengan adegan secara langsung? Yudi yang terlambat pulang hingga tidak bisa membantu acara pengajian sang ayah misalnya? Yudi yang lebih memilih kegiatan grup aktivis dakwahnya daripada acara keluarga mungkin? Atau Yudi yang kepergok ayahnya sedang melakukan orasi di bus? Adaptasi film dari karya sastra kan tak melulu hanya menerjemahkan pesan tertulis menjadi pesan verbal dalam dialog. Bukankah suasana film juga dibangun dengan penggambaran “adegan-adegan bisu” yang seringkali cuma diiringi musik? Ada kalanya kata-kata dalam buku tak cukup untuk menyentuh hati. Film sebenarnya memiliki kekuatan visual yang bisa mengatasi kelemahan dalam penyampaian pesan yang terlalu verbal di cerita.

Kegiatan dakwah di luar vs perhatian terhadap keluarga. Isu yang kerap dihadapi para aktivis dakwah muda

Suasana film, itu yang menjadi PR yang harus digarap jika tim yang sama ingin menggarap film-film Islami lagi. Tak ada continuity dalam film ini. Adegannya sering melompat-lompat, tapi bukan dengan cara yang sinematik. Kesannya seperti putus-putus. Saya sempat bertanya-tanya apa saya ketiduran di sepanjang menonton film, tapi tidak. Saya seratus persen terbangun dan sadar selama film ini diputar 90 menitan lebih.
Yang paling terasa adalah adegan ketika Gagah mengalahkan tiga preman pemalak di kampung terpencil dekat pantai. Rasanya seperti time slip. Tiba-tiba Gagah ada di situ, tiba-tiba saja ketiga preman itu terjatuh. Entah apa alasannya untuk hemat durasi, atau malah karena alasan edukasi. Seperti diskipnya adegan Ikal dan kawan-kawannya yang menemui Tuk Bayan Tula alias dukun dalam Laskar Pelangi. Saya yakin adegan menemui dukun itu diskip untuk menghapus kesan klenik yang akan lebih terasa jika dituangkan secara visual. Jadi saya duga pertarungan Gagah versus tiga preman tak diterjemahkan secara penuh di layar karena alasan edukatif juga. Cukup para manusia harimau saja yang bertarung di layar kaca. Gagah nggak usah ikut-ikutan kasih contoh adegan berantem buat penonton. Bagus kalau alasannya ini. Kepikiran aja gitu lho. Tapi mbok ya, dibikin lebih smooth.



Gagah bahkan tidak diceritakan telah menemukan dompet dan mencari orang di kampung itu. Pemilik dompet itu pun tampaknya bukan orang penting karena keberadaannya langsung diskip. Again, adegan ini dibuat murni agar Gagah bisa bertemu tiga preman yang kemudian jadi target dakwahnya. Daaaan... Gagah pun preaching lagi di depan ketiga preman agar terlihat bijak. Tapi saya cukup menikmati adegan ketika Gagah dan kawan-kawannya bergerak merenovasi Rumah Cinta. Akhirnya, dakwah di film ini disampaikan dengan aksi dan tak melulu orasi. Hehe...
Best pun in this movie is the cast of Epie Kusnandar. Yeah. Dia ga jadi pensiun sebagai preman karena masih harus ngejob jadi preman di film ini! Huahahahaha


Banyak juga tokoh-tokoh yang cuma digambarkan sepintas lalu seperti Virza Idol, Joshua, etc. Apakah mereka akan muncul lagi di film berikutnya? Semoga. Kalau enggak, ini benar-benar pemanfaatan cameo yang nggak efektif deh. Continuitynya mana?


Dari segi teknik pengambilan gambar kamera, sebenarnya kualitas visual film ini sangat tajam. Pergerakan kameranya pun dinamis. Yang paling berkesan buat saya adalah adegan ketika Gagah dengan berurai air mata dan menelepon gurunya di Ternate, curhat soal perlakuan orang-orang di sekelilingnya. Adegan itu awalnya diambil dari bawah, ketika Gita bersiap ke sekolah dan memakai sepatu. Dengan cantik, tanpa memutus adegan, kamera beralih, dari Gita di bawah yang menyadari suara kakaknya yang sedang menelepon di kamar atas, lalu perlahan naik dan menyorot sosok Gagah di loteng dengan angle perpindahan agak miring yang dibuat sangat menarik. Sayang, kebeningan kualitas visual itu justru gagap dalam menyampaikan pesan KMGP. Belum lagi pemotongan bagian ending yang langsung disambung dengan teaser film selanjutnya. Butuh beberapa menit bagi saya untuk menyadari bahwa film sudah berakhir dan bakal disambung dengan film kedua. What??? Memangnya ini film Harry Potter seri terakhir? Saya rasa kalau adegannya diefektifkan lagi sebenarnya mungkin bisa saja dijadikan satu film tuntas yang mengenyangkan...


Di sinilah trik visual kamera super bening itu memainkan “sihirnya”. Meskipun review saya untuk film pertama KMGP tidak terlalu positif, saya tetap penasaran pingin liat film kedua karena teasernya yang sungguh wow (pingin lihat Hamas kecebur di laut, eh?). Menggoda banget pokoknya. Sampai jengkel kenapa kok film pertama kesannya nggak sekuat teaser film kedua. Ya, bagian terbaik dari film KMGP pertama adalah... TEASER FILM KEDUANYA. Arghh... Semoga di film kedua saya tak kecewa lagi. Kalau nggak, alamat bakal garuk-garuk tanah deh.

Simak teaser film keduanya di sini:
https://www.youtube.com/watch?v=osHZ3YjfuvI


Kalau di film ini tadinya saya menanti-nanti Aquino, sekarang ada satu sosok lagi yang kemunculannya saya nanti di film kedua. Siapa lagi kalau bukan... SALIM A. FILLAH! XD


So, Mas Gagah, titi dije eaaah (niru cara ngomong temannya Gita yang geaol banget gituh). Hati-hati di jalan, semoga sampai di film kedua dengan selamat dan memuaskan bagi para penontonnya. Terlepas dari berbagai PR dan kekurangan yang masih membebani film ini, ambil saja yang bermanfaat, lupakan yang tak bermanfaat. Seperti kutipan favorit saya dari film ini,


"Ketika ada kebaikan yang belum kita mengerti, setidaknya kita bisa menghargainya."



Masih banyak hal berharga yang bisa ditarik dari film ini.

Malang, 5 Februari 2016




Review ini diikutkan dalam lomba review film Ketika Mas Gagah Pergi




Previous
Next Post »

4 komentar

Click here for komentar
February 7, 2016 at 9:32 AM ×

sukses buat lombanya Put... nice idea.. detail banget!

Reply
avatar
Kepala Besar
admin
June 26, 2016 at 11:15 PM ×

saya senyum sendiri pas baca kalimat: "ikhwan yang baru dicelup” =D

Reply
avatar
June 27, 2016 at 7:11 PM ×

Hahaha :D Thanks sudah mampir, Mas

Reply
avatar
Thanks for your comment