Mas Gagah, Kalau Pergi
Hati-Hati Ya...
Gusti A.P.
(FLP Malang)
Didukungnya kisah Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)
oleh para pembacanya sampai akhirnya bisa difilmkan adalah suatu fenomena
tersendiri. Terutama jika melihat testimoni mereka yang mengatakan KMGP adalah
salah satu media pengantar hidayah bagi mereka. Kisah yang dikatakan begitu
menyentuh hingga membuat mereka terpacu lagi untuk lebih mendalami Islam dan
hijrah... Masyaallah... Betapa
kata-kata yang diukir dengan kebaikan pun sanggup mengerakkan hati sedemikian
banyak orang.
Perkenalan saya dengan cerpen ini sendiri
sebenarnya bisa dibilang terlambat. Cerpen remaja Islami yang booming pada tahun 90-an ini baru saya
baca di masa kuliah semester sekian-sekian. Tahun 2010-an mungkin. Kala itu
saya sudah lebih banyak mengonsumsi kisah-kisah penulis jebolan FLP yang lain, dengan
konflik dan sajian tema yang lebih rumit. Sebelum mengenal KMGP saya sudah
lebih dahulu mengenal karya Mbak Helvy Tiana Rosa melalui Jaring-Jaring Merah
yang begitu mencekam dan getir. Lalu cerita Lelaki Semesta yang simbolisasinya
begitu menyentuh. Juga Lelaki Kabut dan Boneka yang dari cara penyajiannya
begitu multiinterpretatif.
Cerita yang membuat saya mulai “ngeh” dengan
tema “hijrah” malah serial Olin, karya duet Ali Muakhir yang formatnya
novel-komik. Sebelumnya juga pernah beberapa kali membaca serial bertema serupa
dari majalah Ummi. Intinya, cerita seseorang yang tadinya tidak berhijab lalu
mau menggunakan hijab, yang tadinya bukan aktivis dakwah lalu jadi yang berada
di garda paling depan barisan dakwah... adalah tema yang saya anggap paling mainstream dalam dunia fiksi Islami.
Jadi waktu Ketika Mas Gagah Pergi difilmkan, saya punya ekspektasi lebih,
berharap tampilan visual yang baru ini bisa membuat saya lebih terkesan dengan
kisah ini. Apakah harapan saya terpenuhi? Itu yang ingin saya tuangkan di sini.
Semoga berkenan.
***
Kesan. Itulah yang ingin saya kejar saat ingin
menonton film ini. Apa impresi yang bisa menggerakkan hati para aktivis dakwah
di tahun 90-an, orang-orang yang begitu mendukung kisah ini hingga sekarang?
Sepertinya pengaruhnya besar sekali? Kenapa? Bersama kawan-kawan sesama anggota
FLP, saya sempat ikut larut dalam gempita kabar diwujudkannya kisah ini ke
layar. Kapan Mas Gagah Pergi ke bioskop? Haha...begitulah...
Uniknya, ketika pemuda bernama Hamas tampak
begitu ditonjolkan sebagai pemeran Mas Gagah, saya adem-ayem. Yang membuat saya
penasaran malah aksi “Mbak Gagah” alias Gita, adik Mas Gagah yang diperankan
oleh Aquino. Sejak zaman Lima Sekawannya Enid Blyton, tokoh gadis kelaki-lakian
alias tomboy bernama George (aslinya Georgina) bisa dibilang sudah menjadi role model saya. Terutama karena saat
kecil ayah sendiri memperlakukan saya seperti anak laki-laki. Rambut saya selalu
dipotong pendek, dan sampai sekarang lebih suka pakai celana daripada rok.
Lebih suka T-Shirt daripada gaun. Dulu saya adalah “Gito”, tapi dalam versi
mini. Karena setelahnya, untuk “mengerem” ketomboyan ini, orangtua segera
memakaian hijab. Ya, sejak kelas nol besar TK. Tahun 90-an. Bisa dibilang saya
termasuk angkatan-angkatan pertama dari masa itu yang sudah mengenakan jilbab.
Bahkan sebelum guru-guru agama SD saya memakai jilbab.
Figur tokoh George dan sederet tokoh cewek
tomboy lainnya (seperti dari Makoto Kino dan Haruka Teno dari Sailor Moon)
fiksi lainnya membuat saya berpikir, jadi cewek tomboy = keren. Cewek tapi
jagoan dan nggak kalah sama cowok. Percaya atau tidak, saya jadi beneran ikut
heboh KMGP di media sosial justru setelah melihat gambar Gita bergelantungan di
pohon seperti monyet lincah! Dan saya pun nonton bersama teman-teman.
Poster yang langsung bikin saya penasaran dengan aksi Gita alias Gito. Eh itu gelantungan di pohon atau pagar sih? Hahahahaha |
Dari awal nonton, aksi Gita bersama Gagah bikin
gemes-gemes gimana gitu. Jerit-jerit kecil sendiri di bangku bioskop paling pojok
(untung di pojok, jadi nggak menggangu penonton lain). Saya sepertinya undiagnozed brother complex, tapi
sayangnya malah nggak punya kakak cowok. Bahkan sama sepupu laki-laki pun tak
seberapa dekat. Jadi melihat kedekatan Gita dan Gagah itu benar-benar
menimbulkan gelitik tersendiri. So unyu. Saya begitu menikmati gambaran adegan
di mobil ketika keduanya berjanji untuk backpacker-an bareng. Hebatnya, kemanjaan Gita dan
sikap cool Gagah saat menghadapi
tingkah adiknya yang kekanakan ini bisa tersampaikan dengan baik meski tak ada
sentuhan secara fisik sama sekali! Ini tentu susah.
Saya jadi ingat saat kuliah, ketika saya
menulis skenario untuk tugas kelompok drama. Di sana saya menceritakan sepasang
kekasih dan menambahkan dialog full
romance, dengan harapan para aktor-aktrisnya bisa menerjemahkan
keromantisan hubungan sepasang kekasih hanya lewat kekuatan dialog dan gestur.
Prakteknya? Para aktor-aktrisnya memaksa bergandengan tangan bahkan saling
mengaitkan lengan. Sutradara yang juga berjilbab malah setuju, dan saya
frustrasi sendiri dibuatnya. Sampai-sampai di tugas drama semester selanjutnya
saya menolak bertanggungjawab terhadap skenario lagi, dan lebih memilih
menangani bidang musik. Jadi apa yang
sudah dilalui kru KMGP untuk menyajikan adegan-adegan yang tidak bertentangan
dengan hukum syariah ini patut diapresiasi. Perlu perjuangan panjang agar model
penggarapan seperti ini bisa dibudayakan dan menjadi panduan bagi pengerjaan
adegan film-film Islami lain. Bahkan yang seperti 99 Cahaya di Langit Eropa pun
tidak luput dari adegan sentuhan fisik meski sangat minim. Meskipun konteksnya
suami-istri, tapi di kehidupan nyata kan bukan.
Wulan Guritno juga bisa memainkan peran sebagai
tokoh ibu yang berusaha memahami konflik Gagah dan Gita dengan baik. Jujur saya
sampai merasa Wulan Guritno benar-benar ibu bagi mereka lho. Dari tatapannya,
gesturnya, kerutan di tengah kedua alisnya, nada bicaranya, semua sudah begitu
menerjemahkan aura keibuan. Gagah bahkan tak perlu sampai beradegan cium tangan
agar Wulan Guritno “diakui penonton sebagai tokoh ibu”. Chemistry
ketiga tokoh ini sudah sangat didapat lah.
Nah, setelah paragraf ini (ehm!) saya akan
mulai membahas ke soal kritikannya nih. Saya berharap kritikan ini tidak
diartikan negatif sebagai rentetan kesoktahuan saya sebagai orang di luar
industri perfilman. Semoga kritikan ini bisa menjadi masukan jika film-film
remaja Islami berikutnya akan digarap menyusul KMGP.
***
Di atas tadi saya bilang bahwa film ini sudah
begitu menghanyutkan saya sejak adegan janji backpacker-an di mobil antara Gagah dan Gita terjadi. Tapi
kemudian, begitu adegan Gagah kembali dari Ternate, barulah sense of critics saya mulai on. Adegan di bandara ini digambarkan
begitu unik. Eksekusinya di layar jadi nyaris tak ada jeda antara kepergian dan
kepulangannya... Hal yang menurut saya lebih pantas diterapkan bagi film
komedi. Seperti adegan pembuka di Film City Hunter. Ketika tokoh utama mengoceh
soal temannya yang menitipkan adik perempuan untuk dia rawat setelah meninggal.
Tokoh utama mengomel soal tanggung jawab barunya sambil berjalan menuruni
tanggal melingkar. Adik perempuan temannya yang masih bertubuh kecil
mengikutinya dari belakang. Tokoh utama lalu menghilang dari layar saat ia
mencapai dinding yang menutupi daerah tangga melingkar dari pandangan penonton,
dan gadis cilik itu mengikutinya. Begitu tokoh utama yang diperankan Jackie
Chan itu kembali muncul di layar, ia langsung dibuat terkejut karena gadis
cilik di belakangnya itu tiba-tiba berubah jadi aktris dewasa yang sangat
cantik. Sayangnya, KMGP dan adegan
bandara tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk memancing tawa penonton.
Mulai dari situ saya mulai bertanya-tanya, “ada berapa lagi eksekusi
eksperimental di layar” dalam film ini?
Keheranan tokoh Mama dan ketakjuban Gita saat
melihat Mas Gagah pulang juga menurut saya berlebihan. It’s not that Gagah had changed that, much, Girls! Dia hanya
kembali sambil mengenakan baju koko, celana cingkrang, dan jenggot tipis yang
menghiasi dagunya. Kalau perubahannya begitu kontras seperti Teuku Wisnu yang
jenggotnya lebih tebal dari bunga kol itu sih, saya masih bisa memaklumi
ketercengangan mereka berdua. Tapi ini? Bukannya ketiga atribut tersebut sudah
dianggap biasa di masa kini? Kalau saya di posisi Gita atau tokoh Mama, saya
nggak akan bertingkah seperti melihat alien. Saya bakal godain si Gagah sampai
mampus. Tapi masih menganggap hal itu wajar. Bisa jadi saya mungkin akan
menganggap baju koko dan celana cingkrang sebagai fashion semata, dan memaklumi jenggot tipis dengan alasan, “Biasa, anak habis skripsi, sibuk sampai
lupa rawat diri.”
Dalam hal ini, keputusan untuk memindahkan
seting KMGP jadi kekinian malah jadi bumerang. Menurut saya, biarlah atmosfer
keterasingan jilbab, aktivis dakwah dan segala yang berbau Islami di tahun
90-an terpapar sebagai catatan sejarah bagi para penonton. Saya dan teman-teman
seangkatan mengenang tahun-tahun tersebuti sebagai tahun ketika memakai jilbab
berarti terancam susah dapat pekerjaan dan cari jodoh di masa depan. Tahun-tahun
itu adalah masa ketika saya harus membuka jilbab hanya untuk foto wisuda.
Sebelumnya, teman-teman SD saya selalu berusaha mengintip isi jilbab,
menarik-narik, bahkan mengolok-olok saya sebagai ‘genderuwo putih’ dari Senin dan Kamis, dan ‘genderuwo coklat’ dari Jumat sampai Sabtu. Julukan yang fleksibel,
disesuaikan jenis seragam dan warna jilbab yang saya pakai ke sekolah.
Tahun 90-an adalah era ketika murid-murid
madrasah negeri bahkan tidak diwajibkan memakai jilbab. Masa saat ibu saya
difoto dengan ekspresi pucat menghadap kamera di kartu SIMnya, karena dipaksa
membuka jilbab juga. Era tersebarnya isu ninja pengacau masyarakat dan
sebagainya. Seharusnya hal-hal semacam itu dibiarkan saja. Akan lebih relevan
bagi orang-orang di sekitar Gagah untuk langsung menolak pemuda itu hanya dari
tampilan luar jika setingan waktunya masih di tahun 90. Bukan di zaman ketika
jilbab dan baju koko sekarang jadi komoditi fashion
seperti sekarang. Gegar zaman ini membuat saya jadi berpikir, “Segitu kupernya
kah Gita, keluarga, dan teman-temannya sampai bereaksi lebay terhadap hijab,
dakwah dan segala pernak-perniknya?”
Paling sebal dengan reaksi teman
perempuan Gagah dari agensi model. Tingkahnya melihat sosok berkoko dan
berjenggot tipis Gagah kaya ngeliat setan. ARGH! Ini bikin saya agak lost feeling saat masalah menolak
salaman diangkat oleh Gita. Padahal, isu soal salaman ini signifikan dan
aktivis dakwah banget.
Perubahan sikap Gita yang agak melunak terhadap
aktivis berjilbab seperti anak-anak Rohis di sekolahnya pun terkesan mendadak.
Tahap pertama perubahan itu hanya dirangkum dalam satu kalimat pendek bernada
kekaguman yang dibisikkan Gita (dengan keras) terhadap temannya, “Ternyata
anak-anak Rohis keren-keren ya!”
Ng? Why?
What made you said that, Darling? After the harsh reaction toward Islamic
matters that you showed us for all of this time? Dialog tersebut jadi
terdengar seperti dialog kanak-kanak dalam pertunjukan kanak-kanak yang para
tokohnya bisa berubah dari negatif menjadi lebih positif dalam satu kedipan
mata. Toh ternyata saat sang teman yang hobi ngoceh bahasa gaul itu memakai
jilbab, Gita tak bisa menerimanya. By the
way, ketika film berlangsung, saya malah jadi lebih menyukai tokoh teman
Gita dengan ocehan “Nocin-nocin”nya
itu daripada Gita. Ngegemesin. Kocak alami, padahal biasanya tokoh “gaul” semacam
ini akan dieksekusi dengan sangat buruk di sinetron-sinetron remaja. Kenapa
saya berpindah hati?
Karena sikap manja Gita kepada Gagah yang
awalnya begitu menggemaskan berubah jadi melelahkan. Ekspresinya hampir sama
semua di tiap scene. Kalau nggak
mengernyitkan kening atau mata dengan pandangan meremehkan, bibirnya setengah
mangap seolah ingin mengatakan, “Iiih...” Tingkah kekanakan Gita yang super
duper over membuyarkan harapan saya akan role
model cewek tomboy yang baru. Cewek tomboy yang gagah dan nggak kalah sama
cowok. Bahkan ia tak berkutik saat disandera pencopet di bus.
Hal-hal kecil soal perubahan Gagah yang
terus-menerus dia permasalahkan begitu menjengkelkan. Satu-satunya hal
signifikan yang menurut saya layak dijadikan bahan perseteruan kedua saudara
kandung itu adalah soal janji backpacking
yang dilanggar Gagah meskipun dengan alasan yang bagus. Pada saat itu barulah
rengekan Gita soal, “Tampilan agamis tapi nggak bisa pegang janji,” terasa
signifikan. Oh, satu lagi. Soal privasi Gagah yang dilanggar Gita dengan
mengintip isi laptop kakaknya. Ya, hanya dua itu.
Adegan pertentangan dua saudara ini yang lain
terasa awkward dan dipaksakan. Misalnya
Gagah yang sengaja melantunkan ayat Qur’an keras-keras saat di mobil bersama
Gita. Apa harus sekeras itu? Reaksi Gita yang seperti kepanasan dan jengah luar
biasa membuat saya berpikir apa gadis ini perlu dirukyah. Menurut saya adegan
ini bakal lebih smooth kalau
digambarkan simple dengan Gita yang
memutar musik keras, lalu diganti “dengan semena-mena” oleh Gagah dengan murottal Qur’an atau nasyid. Lakukan
adegan ini beberapa kali, kita akan bisa langsung memposisikan diri sebagai
Gita yang ikutan kagok melihat perubahan Gagah. (Ngomong-ngomong ayat yang
dibacakan Gagah itu salah satu ayat Qur’an terjleb favorit saya. Sentilannya
membuat saya selalu berpikir apakah masih ada nikmat Allah yang sedang saya
abaikan begitu saja).
Sikap Gagah sebagai “ikhwan yang baru dicelup” sebenarnya adalah salah satu pola
perubahan aktivis dakwah yang paling sering terjadi. Apa-apa langsung terasa
salah, tak sesuai standar, dan harus dia ceramahi. Dia juga memaksakan
perubahan terhadap Gita seperti menawarinya pakai rok (saya saja sampai
sekarang enggan pakai rok!). Tapi karena eksekusi cerita film ini lebih
ditekankan kepada dialog dan bukannya atmosfer film, kesan menggurui dan preachy begitu kentara. Dan kita tahu
kan bagaimana sikap remaja dan orang sekarang kalau merasa digurui? Rolling eyes.
Adegan Yudi yang berdakwah dari satu bus ke bus
juga lebay. Apa ada yang seperti itu di dunia nyata? Kalau ada contoh nyata,
mungkin saya akan menganggap adegan ini lebih wajar. Seingat saya tokoh Yudi
dan aksinya ini tak ada di versi cerpen. Berarti adanya di versi novelet dan
novel. Tetap saja... Apa tak ada penggambaran adegan yang lebih mengena dan less preachy? Seolah adegan ini dibuat
hanya untuk memberi alasan bagi Yudi untuk bersilangan dengan kehidupan Gita.
Adegan soal latihan Yudi di panggung teater dengan naskah bertema Palestina
sebenarnya ide yang bagus. Film remaja mana lagi sih yang bisa bawa-bawa isu
kepedulian soal Palestina? Ya cuma KMGP! Ini relevan juga karena pihak produksi
sudah menjanjikan untuk menyisihkan sebagian keuntungan demi menyumbang
Palestina. NAMUN, mengapa adegan teaternya hanya dibuat murni monolog dan orasi
yang lagi-lagi terkesan menggurui? Tak bisakah membuat kesan panggung di dalam
panggung? Cerita tersendiri soal naskah drama Palestina yang digarap tak kalah
seriusnya dengan film utamanya.
Buat saja dramatis dan terkesan gagah. Seperti panggung kisah Peter Pan dalam
Finding Neverland. Agar lebih mengena di hati remaja dan orang-orang
yang biasa memainkan kata “Remason” sebagai plesetan dari “Freemasonry” dan “Wahyudi”
untuk memainkan kata “Yahudi”. Buat agar isu Palestina itu terasa lebih nyata
dan signifikan. Sayang sekali...
Anehnya, dengan aksi Yudi yang begitu full throttle malah ditentang oleh
ayah yang tampaknya juga pemuka agama di rumahnya. Why? Ternyata karena Yudi lebih memilih dakwah di luar tapi abai
dengan dakwah di lingkungan sendiri. Ada isu Yudi ingin menyusul sang kakak dan
karena sebelumnya Yudi main di teater dengan naskah drama Palestina, saya pikir
sang kakak memang sedang ke negara itu. Tapi itu pun tak terjawab hingga akhir
film. Soal alasan ketegangan Yudi dengan ayahnya pun baru bisa dimengerti saat
mencermati dialognya satu-satu. Mengapa tidak dibuat lebih filmis dan sinematik
dengan adegan secara langsung? Yudi yang terlambat pulang hingga tidak bisa
membantu acara pengajian sang ayah misalnya? Yudi yang lebih memilih kegiatan
grup aktivis dakwahnya daripada acara keluarga mungkin? Atau Yudi yang kepergok
ayahnya sedang melakukan orasi di bus? Adaptasi film dari karya sastra kan tak
melulu hanya menerjemahkan pesan tertulis menjadi pesan verbal dalam dialog.
Bukankah suasana film juga dibangun dengan penggambaran “adegan-adegan bisu”
yang seringkali cuma diiringi musik? Ada kalanya kata-kata dalam buku tak cukup
untuk menyentuh hati. Film sebenarnya memiliki kekuatan visual yang bisa mengatasi
kelemahan dalam penyampaian pesan yang terlalu verbal di cerita.
Kegiatan dakwah di luar vs perhatian terhadap keluarga. Isu yang kerap dihadapi para aktivis dakwah muda |
Suasana film, itu yang menjadi PR
yang harus digarap jika tim yang sama ingin menggarap film-film Islami lagi.
Tak ada continuity dalam film ini.
Adegannya sering melompat-lompat, tapi bukan dengan cara yang sinematik.
Kesannya seperti putus-putus. Saya sempat bertanya-tanya apa saya ketiduran di
sepanjang menonton film, tapi tidak. Saya seratus persen terbangun dan sadar
selama film ini diputar 90 menitan lebih.
Yang paling terasa adalah adegan
ketika Gagah mengalahkan tiga preman pemalak di kampung terpencil dekat pantai.
Rasanya seperti time slip. Tiba-tiba
Gagah ada di situ, tiba-tiba saja ketiga preman itu terjatuh. Entah apa
alasannya untuk hemat durasi, atau malah karena alasan edukasi. Seperti diskipnya adegan Ikal dan kawan-kawannya yang menemui Tuk Bayan Tula alias
dukun dalam Laskar Pelangi. Saya yakin adegan menemui dukun itu diskip untuk menghapus kesan klenik yang akan
lebih terasa jika dituangkan secara visual. Jadi saya duga pertarungan Gagah
versus tiga preman tak diterjemahkan secara penuh di layar karena alasan
edukatif juga. Cukup para manusia harimau saja yang bertarung di layar kaca.
Gagah nggak usah ikut-ikutan kasih contoh adegan berantem buat penonton. Bagus
kalau alasannya ini. Kepikiran aja gitu lho. Tapi mbok ya, dibikin lebih smooth.
Gagah bahkan tidak diceritakan
telah menemukan dompet dan mencari orang di kampung itu. Pemilik dompet itu pun
tampaknya bukan orang penting karena keberadaannya langsung diskip. Again, adegan ini dibuat murni agar
Gagah bisa bertemu tiga preman yang kemudian jadi target dakwahnya. Daaaan...
Gagah pun preaching lagi di depan
ketiga preman agar terlihat bijak. Tapi saya cukup menikmati adegan ketika
Gagah dan kawan-kawannya bergerak merenovasi Rumah Cinta. Akhirnya, dakwah di
film ini disampaikan dengan aksi dan tak melulu orasi. Hehe...
Best pun in this movie is the cast of Epie Kusnandar. Yeah. Dia ga jadi pensiun sebagai preman karena masih harus ngejob jadi preman di film ini! Huahahahaha |
Banyak juga tokoh-tokoh yang cuma digambarkan sepintas lalu seperti Virza Idol, Joshua, etc. Apakah mereka akan muncul lagi di film berikutnya? Semoga. Kalau enggak, ini benar-benar pemanfaatan cameo yang nggak efektif deh. Continuitynya mana?
Dari segi teknik pengambilan
gambar kamera, sebenarnya kualitas visual film ini sangat tajam. Pergerakan
kameranya pun dinamis. Yang paling berkesan buat saya adalah adegan ketika
Gagah dengan berurai air mata dan menelepon gurunya di Ternate, curhat soal
perlakuan orang-orang di sekelilingnya. Adegan itu awalnya diambil dari bawah,
ketika Gita bersiap ke sekolah dan memakai sepatu. Dengan cantik, tanpa memutus
adegan, kamera beralih, dari Gita di bawah yang menyadari suara kakaknya yang
sedang menelepon di kamar atas, lalu perlahan naik dan menyorot sosok Gagah di
loteng dengan angle perpindahan agak miring yang dibuat sangat menarik. Sayang,
kebeningan kualitas visual itu justru gagap dalam menyampaikan pesan KMGP.
Belum lagi pemotongan bagian ending yang langsung disambung dengan teaser film selanjutnya. Butuh beberapa
menit bagi saya untuk menyadari bahwa film sudah berakhir dan bakal disambung
dengan film kedua. What??? Memangnya
ini film Harry Potter seri terakhir? Saya rasa kalau adegannya diefektifkan
lagi sebenarnya mungkin bisa saja dijadikan satu film tuntas yang
mengenyangkan...
Di sinilah trik visual kamera
super bening itu memainkan “sihirnya”. Meskipun
review saya untuk film pertama KMGP
tidak terlalu positif, saya tetap penasaran pingin liat film kedua karena teasernya yang sungguh wow (pingin lihat
Hamas kecebur di laut, eh?). Menggoda banget pokoknya. Sampai jengkel kenapa
kok film pertama kesannya nggak sekuat teaser
film kedua. Ya, bagian terbaik dari film KMGP pertama adalah... TEASER FILM
KEDUANYA. Arghh... Semoga di film kedua saya tak kecewa lagi. Kalau nggak,
alamat bakal garuk-garuk tanah deh.
Simak teaser film keduanya di sini:
https://www.youtube.com/watch?v=osHZ3YjfuvI
Simak teaser film keduanya di sini:
https://www.youtube.com/watch?v=osHZ3YjfuvI
Kalau di film ini tadinya saya
menanti-nanti Aquino, sekarang ada satu sosok lagi yang kemunculannya saya
nanti di film kedua. Siapa lagi kalau bukan... SALIM A. FILLAH! XD
So, Mas Gagah, titi dije
eaaah (niru cara ngomong temannya Gita yang geaol banget gituh). Hati-hati
di jalan, semoga sampai di film kedua dengan selamat dan memuaskan bagi para
penontonnya. Terlepas dari berbagai PR dan kekurangan yang masih membebani film ini, ambil saja yang bermanfaat, lupakan yang tak bermanfaat. Seperti kutipan favorit saya dari film ini,
"Ketika ada kebaikan yang belum kita mengerti, setidaknya kita bisa menghargainya."
"Ketika ada kebaikan yang belum kita mengerti, setidaknya kita bisa menghargainya."
Masih banyak hal berharga yang bisa ditarik dari film ini.
Malang, 5 Februari 2016
Malang, 5 Februari 2016
4 komentar
Click here for komentarsukses buat lombanya Put... nice idea.. detail banget!
ReplyThank you. Aamiin XD
Replysaya senyum sendiri pas baca kalimat: "ikhwan yang baru dicelup” =D
ReplyHahaha :D Thanks sudah mampir, Mas
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic