Hari ini hari pertama Neko bakal menjalani kuliah Filsafat Ilmu Budaya. Untuk yang kedua kalinya =_=". Beberapa semester lalu, dosen Filsafat Ilmu Budaya Neko tega banget memberiku nilai C. Padahal, Neko sudah mengerjakan semua tugasnya. Sampai nganter tugas ke rumahnya malem-malem pula. Sebel. Yah...mungkin Neko juga sih yang tidak memahami tugasnya dengan baik Whew...semester ini dosen Filsafat Neko beda orang. Semoga di semester ini, pemahaman Neko soal pengantar filsafat ini lebih baik dari semester lalu.
Pagi-pagi sebelum kuliah dimulai, Neko udah nyoba baca buku FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER, karya Jujun S. Suriamantri.
Pagi-pagi sebelum kuliah dimulai, Neko udah nyoba baca buku FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER, karya Jujun S. Suriamantri.
Di luar dugaan ternyata konsep filsafat kalau menurut buku ini, sebenarnya rendah hati sekali lho. Tapi kenapa beberapa kenalan Neko yang mengaku mendalami filsafat justru kelihatannya sombong sekali? Phew! Satu hal yang Neko pelajarin, orang yang ngaku-ngaku itu biasanya justru dangkal...
Neko baru baca BAB 1 sih. Belum selesai, dan langsung tergoda untuk nulis dikit. Yang jelas karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah BERSIFAT MENYELURUH. Seperti orang yang sedang menapak di bumi lalu menengadah ke arah langit. Ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seperti orang yang sedang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. (Suriasumantri, 2001:20)
Miris sekali ketika kita melihat ilmuwan atau seorang ahli yang picik. Dia merasa disiplin ilmunya sendiri yang paling baik. Lulusan IPA meremehkan lulusan kelas IPS, dan lulusan program IPS lebih memandang rendah lagi kepada anak-anak Bahasa. Pas PPL dulu, Neko pernah lihat perang mulut antara dua anak kelas X (satunya laki-laki dan satunya perempuan) tentang mana yang lebih baik, "masuk program IPA atau masuk program IPS" pas kelas XI. Lucu juga sih liatnya. Tapi semoga saja mereka tidak membawa pemikiran seperti itu secara serius dalam dunia nyata. Kalau dijadikan guyonan secara terus-terusan ya kayaknya kok nggak ada guyonan lain yang less-hurting atau yang lebih menyenangkan ya? Hehehe...
Kaum akademis atau ilmuwan yang memandang rendah pada pengetahuan lain sama saja dengan meremehkan moral. Bisa jadi mereka malah meremehkan agama! Karena itu sebelum menyombongkan diri, lebih baik kita melatih kelenturan otot leher kita agar bisa mendongak ke atas dan menyadari bahwa masih ada langit yang luas dan lebih tinggi di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Seperti kesimpulan Socrates, "Yang saya tahu adalah saya tak tahu apa-apa."
Eh? Emangnya Socrates pernah ngomong gitu ya? Hihihi...nggak tahu deh. Namanya juga masih baca buku pengantar. Bab 1 belum selesai pula hehehe...
Dalam buku ini disebutkan pula bahwa kerendahhatian Socrates ini bukan sekedar lip-service atau basa-basi belaka.Seseorang yang berpikir filsafati selain menengadah ke arah bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental (Suriasumantri, 2001:20). Dengan artian lain, karakteristik kedua berpikir filsafati adalah SIFAT MENDASAR. Maksudnya orang yang mempelajari filsafat akhirnya tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria "benar" tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusuri sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang merupakan awal, sekaligus juga akhir (Suriasumantri, 2001:20-21)
Lho? Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar dari semua itu?
Hamlet, salah satu tokoh utama dalam cerita yang ditulis Shakespeare pernah berkata seperti ini, "Ah Horatio...masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu."
Miris sekali ketika kita melihat ilmuwan atau seorang ahli yang picik. Dia merasa disiplin ilmunya sendiri yang paling baik. Lulusan IPA meremehkan lulusan kelas IPS, dan lulusan program IPS lebih memandang rendah lagi kepada anak-anak Bahasa. Pas PPL dulu, Neko pernah lihat perang mulut antara dua anak kelas X (satunya laki-laki dan satunya perempuan) tentang mana yang lebih baik, "masuk program IPA atau masuk program IPS" pas kelas XI. Lucu juga sih liatnya. Tapi semoga saja mereka tidak membawa pemikiran seperti itu secara serius dalam dunia nyata. Kalau dijadikan guyonan secara terus-terusan ya kayaknya kok nggak ada guyonan lain yang less-hurting atau yang lebih menyenangkan ya? Hehehe...
Kaum akademis atau ilmuwan yang memandang rendah pada pengetahuan lain sama saja dengan meremehkan moral. Bisa jadi mereka malah meremehkan agama! Karena itu sebelum menyombongkan diri, lebih baik kita melatih kelenturan otot leher kita agar bisa mendongak ke atas dan menyadari bahwa masih ada langit yang luas dan lebih tinggi di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Seperti kesimpulan Socrates, "Yang saya tahu adalah saya tak tahu apa-apa."
Eh? Emangnya Socrates pernah ngomong gitu ya? Hihihi...nggak tahu deh. Namanya juga masih baca buku pengantar. Bab 1 belum selesai pula hehehe...
What the heaven is that thing on the sky? Is that a floating golden banana? |
Dalam buku ini disebutkan pula bahwa kerendahhatian Socrates ini bukan sekedar lip-service atau basa-basi belaka.Seseorang yang berpikir filsafati selain menengadah ke arah bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental (Suriasumantri, 2001:20). Dengan artian lain, karakteristik kedua berpikir filsafati adalah SIFAT MENDASAR. Maksudnya orang yang mempelajari filsafat akhirnya tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria "benar" tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusuri sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang merupakan awal, sekaligus juga akhir (Suriasumantri, 2001:20-21)
Lho? Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar dari semua itu?
Hamlet, salah satu tokoh utama dalam cerita yang ditulis Shakespeare pernah berkata seperti ini, "Ah Horatio...masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu."
Dan jujur saja tidak mungkin bagi kita untuk bisa menguasai dan mempelajari pengetahuan secara keseluruhan. Kan banyak banget. Biasanya orang akan mengambil spesifikasi bidang tertentu, pengetahuan lain hanya dijadikan tambahan, atau pendukung. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi. Jadi, ciri khas ketiga berpikir filsafati adalah SIFAT SPEKULASI.
Mau sepintar apapun, manusia tetap manusia kan? Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dinalar begitu saja. bahkan para ilmuwan pun sampai sekarang masih belum menemukan jawaban atas berbagai fenomena misterius yang terjadi di dunia ini. Walaupun begitu, orang yang mendalami filsafat mestilah tidak berhenti untuk terus berusaha menemukan jawabannya. Berpindah dari satu spekulasi ke spekulasi lain, dan membuktikan hipotesanya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya kita bisa memisahkan spekulasimana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? (Suriasumantri, 2001:22)
Dan sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dan dimulai dengan spekulasi... Tanpa menerapkan kriteria mana yang benar dan mana yang salah, tidak mungkin ilmu pengetahuan bisa berkembang, tidak mungkin kita bisa menentukan standar moral.
Tapi apakah standar kebenaran itu?
Di pertemuan pertama, dosen Neko bilang begini di depan kami, para mahasiswanya,
"Kalau setelah akhir perkuliahan ini, kalian semua bisa menjadi pribadi yang lebih bijak dan tidak mengambil kesimpulan akan apa pun secara tidak tergesa-gesa, berarti mata kuliah ini berhasil. Yang penting adalah setiap kesimpulan yang bisa kalian ambil, sudah melalui proses nalar. Cobalah bertanya-tanya tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kalian. Hal-hal yang mungkin sering tidak terpikirkan. KENAPA? KENAPA? Dan KENAPA? Lalu coba nalar jawabannya."
Cool! Kayaknya baru kali ini Neko dapat dosen yang langsung menjelaskan filosofi dan tujuan mata kuliahnya seperti ini. Mengena sekali. Yah...semoga Neko bisa menjadi manusia (kucing???) yang lebih baik lagi di masa depan^^
Referensi: S. Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: CV Muliasari.
4 komentar
Click here for komentarWah, dosennya siapa Put?
ReplyAku dulu dapet A, hehe... :D
Mohon izin mencantumkan cover Filsafat Ilmu di blog saya. Terima kasih.
Reply@Seta Basri, saya dapat cover itu juga dari internet kok. Saya rasa penulisnya sendiri juga pasti senang kalau bukunya dipromosikan =D
Replyada deh XD
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon Off Topic