[PUBLISHED WORK] DEMOKRASI BATAGOR [MAJALAH HAI]


oleh Kawaii Neko


    Matahari bersinar begitu terik saat aku baru pulang dari tempat bimbel siang itu. Belakangan ini aku memang berubah menjadi sangat rajin. Lupakan playstation, komik, ngeband, Andina pacarku yang cantik, bola basket, dan segala tetek bengek yang lainnya. Sekarang saatnya berjuang untuk menghadapi SPMB! Buat kami yang baru saja lulus SMU, UAN bukanlah perang terakhir. Masih ada 'perang besar' yang menunggu di belakangnya, apalagi kalau bukan tes SPMB? Dan untuk itu aku gak main-main.

    Raymond si anak metal langsung bertobat begitu sudah duduk di kelas tiga. Kusingkirkan kaset-kaset, komik-komik, majalah-majalah game dan musik, juga CD-CD PS yang memenuhi lemariku. Kuganti dengan buku-buku kumpulan soal SPMB yang tebalnya rata-rata 350 halaman itu. (nggak ada yang beli, semua buku-buku itu aku dapat dari hasil 'nodong' kakak-kakak kelasku yang terdahulu hehehe)

    Aku korbankan karir basketku yang cemerlang untuk konsentrasi pada bimbel dan berbagai les. Aku nggak mau ikut jalur minat bakat. Padahal dengan  kemampuan basketku aku bisa dengan mudah masuk ke universitas yang aku dambakan seperti teman-teman seekskul yang lain. Tapi aku ngotot ingin mencoba menempuh jalur SPMB. Hanya untuk membuktikan kepada mereka yang nyinyir bahwa atlet pun punya otak.

    Kupelajari soal demi soal sampai begadang segala. Kutelan semua rumus-rumus logaritma, trigonometri, matrix, integral, dll sampai otakku serasa meleleh. Tapi segala perjuanganku akan terbayar kalau aku bisa lulus masuk universitas favoritku nanti. No Pain No Gain, kalau ingin sukses harus ada pengorbanan yang setimpal kan? Lagipula bukankah hidup ini adalah perjuangan?

    Saat aku melewati balai kota, ratusan orang sudah berkumpul di sana. Mereka meneriakkan slogan-slogan dan tuntutan-tuntutan kepada pemerintah sambil membawa kertas dan spanduk warna-warni. Jalanan jadi macet, aparat keamanan tampak sibuk mengamankan jalan, berjaga kalau-kalau ada kerusuhan. Seorang pria ceking berdiri di atas pick-up sambil meneriakkan kata-katanya lewat halo-halo yang ia pegang. Rupanya ia pemimpin mereka.

    “Sodara-sodara, kita rakyat kecil sudah terlalu banyak menderita! Rakyat kelaparan! Rakyat butuh makan! Tapi apa yang dikerjakan para wakil-wakil rakyat di dalam sana, sodara-sodara?!”, teriaknya menggebu-gebu.

    “MENE KETEHEEE?!!!” sahut orang-orang itu.

    “NOTHING SODARA-SODARA! MEREKA CUMA ONGKANG-ONGKANG DI ATAS PENDERITAAN KITA SODARA-SODARA! APA KITA HARUS DIAM SAJA MENDIAMKAN SEMUA ITU SODARA-SODARA?!! SETIAP ASPIRASI KITA SELALU DIABAIKAN, SODARA-SODARA!!!”semburnya lagi, dengan irama seperti rapper sekelas Eminem.

    “CAPEEEKK DEEEH!!!” Para demonstran menjawab koor.

    Si Ceking itu berusaha menghimpun semangat dari para demonstran. Ia selalu mengakhiri kalimatnya dengan 'sodara-sodara'. Setiap kali juga orang-orang yang bergerombol itu bersorak-sorai menimpali perkataan lelaki ceking itu.

    “SODARA-SODARA JANGAN MENYERAH PADA KEDZALIMAN! SELAMA TUNTUTAN KITA TIDAK MEREKA PENUHI, SELAMA ITU JUGA KITA AKAN TERUS BERDEMO DI SINI SODARA-SODARA!!!”

    Setelah itu, serentak para demonstran itu mengangkat kertas-kertas dan spanduk-spanduknya dan mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi ke udara, berteriak, “TURUNKAN BBM!!!” Kemudian mereka menyanyi meneriakkan yel-yel dan menabuh genderang sambil menari-nari.  Para pengendara kendaraan mulai tak sabaran dan berlomba-lomba membunyikan hornnya keras-keras. Siang itu pun terasa kian panas dan rikuh. Orang-orang berdiri terpaku di trotoar sambil melongo menonton aksi para demonstran. Lumayan ada hiburan gratis!

Kata kucing orator: Turunkan harga Whizkaaaz!


    Aku segera berlalu. Peristiwa ini pasti akan menjadi headline surat kabar kota besok. Aku terus berjalan menuju stasiun, di sana aku biasa mencegat angkot untuk pulang. Tapi di tengah jalan aku berbelok ke Jl.Pajajaran. Dan benar saja, sosok bertopi pet hitam yang familiar itu berada di sana. Di bawah pepohonan rindang yang menaunginya dari terik mentari. Aku tersenyum menghampirinya.

    “Batagornya lima belas, Cak. Yang extra pedas!”, seruku.

    Ia menangadah, menatapku. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang bersahaja. “Urab ngalup sampeyan? (bahasa terbalik malangan: baru pulang?)”, tanyanya.

    “Yoi, dari bimbel nih. Bentar lagi kan SPMB”, jawabku sambil menaruh pantatku di bangku kayu panjang yang ada di situ.

    “Wah, sebentar lagi kuliah ya. Nggak terasa ya. Rasanya baru kemarin Sampeyan masih seragaman putih biru, pertama kali beli batagor di saya.” Ujarnya. Tangannya membungkus batagor pesananku dengan cekatan.

    “Kok seminggu ini nggak keliatan, Cak?”

    “Ayas kolem sidang DPR (saya melok sidang DPR=Saya ikut sidang DPR)”, jawabnya sambil mesem. Aku melongo.

    “Iya, DPR. Dewan Pedagang batagoR”, jelasnya lagi.

    Aku ngakak hebat. Satu lagi guyonan khas rakyat kecil yang aku dengar darinya. Ada-ada saja! Kreatif sekali Cak Ji ini. Seharusnya dia ndaftar jadi tim kreatifnya Extravaganza di TRANS TV aja kali ya!

    Lelaki padagang batagor keliling ini namanya Sudarmaji. Tapi ia lebih beken dengan nama Cak Ji. Usianya kira-kira sudah 40-an. Pertama kali aku ketemu Cak Ji adalah saat aku baru pulang sekolah seusai hari pertama MOS di SMA ku. Saat itu sudah hampir maghrib, aku hampir aja dipalak sama 2 preman kalo Cak Ji ini nggak segera muncul menolongku. Tiga kali gebrak saja, dua preman itu langsung klenger. Rupanya Cak Ji ini bekas jawara di kampungnya. Dan sejak itu aku pun jadi akrab dengan lelaki humoris ini. Sampai sekarang setiap pulang sekolah aku selalu mendatangi tempat mangkalnya yang biasa ia sebut 'gedung DPR rakyat' ini (Di bawah Pohon Rindang. Mungkin para anggota dewan itu sekali-sekali harus pindah ngantor ke sini biar bisa berbaur dengan rakyatnya kali ya..hehehe). Lagipula batagornya wuah! Enak tenan! Rasanya benar-benar bikin ketagihan, dan yang paling penting tahunya 100% bebas formalin hehehe! Pokoknya kamu kudu nyoba deh (lho promosi).

    “Ini Dik!” tegurnya membuyarkan nostalgiaku, menyodorkan  15 bungkus batagor pesananku.

    “Berapa?”

    “Biasa 7,5 juta, tunai gak terima kartu kredit!”Jawabnya mesem. Kamsudnya 7500 perak!

    Aku tersenyum mangangsurkan selembar sepuluh ribu kepadanya. “Kembaliannya buat sampeyan aja”, aku menolak saat ia hendak memberikan uang kembaliannya. Aku tidak segera beranjak, rasanya masih ingin aku mengobrol dengannya.

    “Gak ikut demo di balai kota, Cak?” tanyaku iseng.

    “Buat apa panas-panas teriak-teriak di jalan? Bikin macet aja! Mending di sini jualan batagor. Ngadem, dapat duit pula!,” jawabnya terkekeh. “Lho mau ke mana?” tanyanya ketika tiba-tiba tiga temannya yang sesama pedagang keliling mendorong gerobaknya hendak pergi. Aku kenal tiga orang itu. Cak Udin tukang bakso, Mang Damar penjual cilok, dan Mas Parjo penjual pop ice.

    “Ya ke tempat orang-orang demo itu toh.” Jawab Mang Damar.

    Cak Ji terkekeh, “Mau ngapain sampeyan semua ke sana, hah. Nggak usah ditambahi sampeyan-sampeyan, jalanan sudah sumpek tau!”

    “Gimana sih, demo-demo kayak gini kan sumber rejeki buat kita. Orang-orang itu pasti pada laper atau haus abis teriak-teriak panas-panas gini. Dagangan kita bisa laris Cak!”, sahut Cak Udin.

    “Ya udah sana, ayas kadit kolem! (saya tidak ikut)”, tukas Cak Ji.

    “Nyesel lho Sampeyan!”, cibir Mas Parjo. Cak Ji cuma mengangkat bahu.

    “Memang kalo pas demo dagangan mereka mesti laku keras ya, Cak?”, tanyaku setelah ketiga orang itu pergi.

    “Tauk ya, tapi kata mereka setelah tiga kali dagang waktu demo-demo yang kemarin dapat untung besar katanya.” Jawab Cak Ji.

    “Lah, Sampeyan gak ikut mereka Cak? Kan bisa laris manis dagangannya.”

    “Halah Dik, ayas hadus kopak (saya sudah kapok). Bukannya untung malah benjut”, kata Cak Ji sambil membuka topi pet hitamnya. Nafasku tertahan, ada luka memanjang di bagian kepalanya yang tidak ditumbuhi rambut! Jadi karena itu, Cak Ji tak pernah melepas topinya?

    “Tadinya saya ya kayak temen-temen yang lain. Suka manfaatin keadaan pas ada demo. Kita-kita mana ngerti yang namanya politik. Biar aja mereka yang di atas pada ribut. Buat kita bisa ngasih uang belanja ke istri aja udah cukup”, jelasnya. Ia mengelus-elus bekas lukanya, “Ini, kenang-kenangan yang saya dapat waktu bareng temen-temen jualan di lokasi demonstrasi.”

    Kemudian lelaki itu pun bercerita tentang bagaimana saat ia dan teman-temannya yang lain berusaha mengais rejeki di tengah-tengah demonstrasi di Jakarta. Kemudian entah siapa yang memulai, moment penyampaian aspirasi rakyat itu berubah menjadi bentrokan antara  aparat keamanan dan para demonstran. Massa yang mengamuk  membakari apa saja yang ada di hadapannya. Dalam keadaan panik berusaha menyelamatkan diri tiba-tiba Cak Ji dihantam dari belakang. Begitu sadar ia sudah berada di rumah sakit. Kepalanya robek dan mendapat sepuluh jahitan. Cak Ji terpaksa hutang sana-sini untuk menebus biaya pengobatan rumah sakit.

    “Setelah bisa ngumpulin duit lagi, saya balik ke Malang. Ternyata saya memang gak cocok di ibukota.” Cak Ji mengakhiri ceritanya yang membuatku tercenung. Nggak nyangka ternyata Cak Ji pernah mengalami masa lalu yang seperti itu.

    “Karena itu ayas kadit akus omed (karena itu saya nggak suka demo)” kata Cak Ji.

    “Tapi Cak, demonstrasi itu kan salah satu aplikasi dari demokrasi juga”, sanggahku, mengutip isi buku PPKn.

    “Demokrasi mbhelgedhesMek slogan thok. Buat saya demo iku ora ana gunane. Percuma berak-berok tapi yang di atas pada tutup kuping!”
    “Tapi demo itu kan fungsinya buat nyampein aspirasi kita kepada para wakil rakyat. Kita sebagai rakyat kan juga wajib ngasi tau kalo pemerintah sudah mulai melenceng!”

    Cak Ji mencibir, “Yo opo dirungokno? Buktinya ya sampeyan liat aja apa terus karena orang-orang pada demo trus harga BBM nggak jadi naik? Apa karena didemo wong-wong korup itu pada keder? Nggak toh? Jadi percuma kan?”

    Aku masih tidak mau kalah, “Tapi Presiden Marcos, Estrada, juga Pak Harto kan ditumbangkan dengan demonstrasi? People Power”

    “Ya tapi mereka kan gak langsung serta merta lengser setelah didemo. Keadaan waktu itu juga mendukung. Kerusuhan-kerusuhan, hutang negara yang membengkak, dan merajalelanya KKN di jaman Soeharto, maraknya kasus korupsi hancurnya ekonomi, d Filipina di masa pemerintahan Marcos, juga Estrada yang dilengserkan oleh kasus korupsinya sendiri, semua itu yang mempercepat kejatuhan mereka”.

Aku melongo. Hampir aku gak ngeh kalau sedang bicara politik dengan penjual batagor!

“Jangan heran Dik! Gini-gini saya rajin numpang baca di loper koran!” ujarnya terkekeh seolah menjawab keherananku.

    “Trus sering demonstrasi itu dilatarbelakangi oleh kepentingan oknum tertentu, bukan murni demi rakyat. Saya sering lho mergoki para demonstran itu diturunkan truk di tempat sepi, terus coba tebak, ternyata mereka semua dibayar lho, Dik!”

    “Ah mosok!”

    “Lhooo, gak percaya Sampeyan. Ngapain saya bohong! Makanya saya gak percaya lagi sama demo-demo itu”

    Aku termanggu, sebegitu parahnyakah negara ini? Hingga aspirasi rakyat pun dijadikan alasan untuk menangguk keuntungan pribadi?

    “Ya udah kalo gitu nanti Cak Ji aja yang nyalonin diri jadi presiden. Sebagai 'mantan' rakyat kecil sampeyan pasti lebih memahami rakyat.” gurauku.

    “Waaah, boleh tuh. Kalau saya jadi presiden saya bisa bikin kebijakan baru: 'Makanan pokok bangsa ini diganti dari nasi jadi batagor'. Enak toh, selain lebih murah, para pedagang batagor seperti saya bisa makmur semua”, ujarnya sambil terkekeh.

    “Yee, kalau gitu Cak Ji masih memikirkan kepentingan golongan dong, bukan rakyat! Bukan demokrasi tuh!” protesku.

    “Yee saya kan pedagang batagor, bukan politikus!”serunya membela diri. Kami berdua pun tertawa terbahak-bahak.

    “Lho kok wis balik. Wis ludes tah dagangan Sampeyan?” Tegur Cak Ji ketika ketiga temannya kembali dari lokasi demo balai kota beberapa saat kemudian.

    “Huu.. boro-boro ludes!”, gerutu Mas Parjo.

    “Lho kok?”

    “Gimana mereka mau beli, lha wong ternyata para demonstran itu menggelar aksi mogok makan! J**c*k!” Cak Udin misuh-misuh.

    Aku dan Cak Ji spontan tertawa terbahak-bahak lagi.

    “Lho Cak Ji mau ke mana?” tanyaku saat lelaki itu beranjak dari sampingku dan mulai mendorong gerobak dorongnya, pergi.

    “Mau ikut demo!” jawabnya pendek.

    Kami semua melongo. “Lhah, katanya kadit akus omed?” tanyaku.

    Cak Ji tersenyum, “Jangan salah sangka dulu! Yang mau saya datangi itu demo masak ibu-ibu PKK di RT saya. Kalo yang ini ditanggung bebas manipulasi dan kerusuhan dan dapet kenyang. Sampeyan-sampeyan mau ikut nggak?” Habis berkata begitu pria unik itupun berlalu. Ketiga temannya cuma bengong. Aku tergelak lagi.

    Ah Cak Ji.....Cak Ji........

    Malang, 28 Juli 2006



Cerpen Neko pertama kali dimuat di sini nih. Sayang Neko nggak berhasil dapetin ini majalah. Jadi cuma ngopi halaman cerpen dari majalah ini yang ada di perpustakaan sekolah deh huhuhuhu...

Cerpen ini adalah cerpen pertama Neko yang dimuat di media massa berbasis nasional, yaitu majalah HAI Edisi 28 Agustus-2 September 2006. Alhamdulillah ^^



Oh, ya pingin tahu proses kreatif di balik cerpen "Demokrasi Batagor" ini? Pingin tahu bagaimana Neko mendapatkan ide brilian ini, mengolahnya jadi cerpen dan sampai dimuat di Majalah HAI? Dapatkan itu semua di buku ini.


ANTOLOGI CERPEN FLP MALANG: 
PEREMPUAN MERAH DAN LELAKI HARU



Kategori: Fiksi, kumpulan cerpen + proses kreatif para penulis 
Penerbit: Ide Kreatif
ISBN: 978-602-18126-3-1
Tebal: 158 halaman++
Harga Rp 40 ribu

Deskripsi buku:

Buku ini berisi 15 cerpen yang mewakili 11 karakter penulisnya. Anda menikmati sajian pembuka hingga penutup, bahkan pencuci mulut sekaligus dalam satu waktu!
Apa pembatas darah dan airmata? Mungkin tawa, mungkin perenungan, atau teraduk labirin isi kepala penulis 15 kisah.

Dari kisah bertempo lambat, cepat... bertambah cepat, hingga sesak. Berbagai impresi akan memukau hati Anda, mulai dari cerita pertama.

Tak hanya itu, di sini setiap pengarang membagi proses kreatifnya secara mendetail. Mulai dari proses penemuan ide, pengolahan ide sampai menjadi cerpen, hingga sampai menembus media atau memenangkan lomba

Karya-karya yang dimuat dalam antologi ini telah dimuat di:

·         Radar Sulteng, 
·         Surabaya Post, 
·         Cahaya Nabawy, 
·         Menjadi Juara 1 Lomba Cerpen Kammi Universitas Negeri Malang, 
·         Majalah HAI, 
·         Rakyat Bengkulu, 
·         Majalah SOLID Fak.Teknik Universitas Brawijaya, 
·         Koran Bestari UMM, 
·         Menjadi pemenang I Aneka Yess! Short Story Contest 2011 dan dimuat di Aneka Yess!,
·         Meraih juara III Lomba Cerpen Islami FLP Jember se-Jawa Timur 2010


Para penulis dalam antologi ini:

1. Mashdar Zainal (penulis nasional yang karyanya sudah dimuat di berbagai media nasional termasuk Kompas, Jawa Pos, Story Teenlit Magazine, Majalah Femina, Jurnal Nasional dan masih banyak lagi. Tiga kali cerpennya masuk dalam jajaran pemenang LMCR (Lomba Menulis Cerpen Remaja, Lips Ice-Selshun Golden Award). Dua kali menerbitkan novel: ZALZALAH (Pro U Media), dan IKTIRAF SEKUNTUM MELATI (Salamandi). 

Tiga cerpennya, "BOCAH PASIR BRANTAS" (Surabaya Post), "GELAR DI ATAS BATU NISAN" (Juara 1 Lomba Cerpen KAMMI Universitas Negeri Malang) dan  "ODE SEBUAH PERJALANAN" (Surabaya Post), juga proses kreatif di bali ketiganya termuat dalam antologi ini.

2.  Ai El Afif (Nur Afif Kadir). Penulis asal Makassar. Dua cerpennya "SEHADAPAN" dan "MUSIM KESUNYIAN" dua kali menjadi Pemenang I LMCR (Lomba Menulis Cerpen Remaja, Lips Ice-Selshun Golden Award). 

Dalam antologi ini, beliau memasang dua cerpennya "PEREMPUAN MERAH" (Radar Sulteng) (yang kemudian diambil menjadi judul antologi ini), dan "BUNDHU" (Koran Bestari UMM).

3.    Fauziah Rachmawati. Mantan ketua FLP Malang selama dua periode. Bukunya "PENDIDIKAN SEKS BAGI ANAK AUTIS" diterbitkan Elex Media Komputindo (Gramedia Group). Essaynya pernah dimuat di Republika, Majalah Mind Body and Soul (Majalah INTISARI Group), juga berkali-kali memenangkan lomba penulisan karya ilmiah mahasiswa. 

Dalam antologi cerpen ini, beliau memasang dua cerpennya "LAUNG MUDIGAH" (Surabaya Post) dan "KAMPUNG YANG TERBAKAR" (Cahaya Nabawy--dengan judul KEBAKARAN).

4.  Fahrul Khakim. Penulis nasional yang karyanya sudah dimuat di berbagai media seperti Majalah GADIS, Majalah HAI, Story Teenlit Magazine, Aneka Yess!, Tabir, dan masih banyak lagi. Kumpulan cerpennya "COWOKKU VEGETARIMOOD" diterbitkan oleh Penerbit ANDI. 

Dalam antologi ini beliau menyumbangkan satu cerpen yang sudah dimuat di Story Teenlit Magazine, "LAPTOP TAHUN BARU" (Pemenang Pertama Aneka Yess! Short Story Contest, dan dimuat di Aneka Yess!)

5.    Rialita Fithra Asmara. Guru Bahasa Indonesia yang juga penulis cerpen. Sudah berkali-kali memenangkan lomba penulisan cerpen. Cerpennya pernah dibukukan di kumpulan cerpen AKU INGIN MELUKIS WAJAHMU (Antologi FLP UM), GURU JUGA MANUSIA, dan MENEBUS DOSA DI NEGERI CELAKA (Antologi cerpen-cerpen terbaik majalah Komunikasi UM). Simak karyanya yang mengharu-biru, "LELAKI DAN HARU" dalam buku ini. Judul cerpen tersebut bersanding dengan PEREMPUAN MERAH pada
judul antologi ini.


6.  Nur Muhammadian. Pembina FLP Malang. Trainer SEFT dan NLP profesional (spesialisasi mengatasi phobia dan mental block). Aktif dalam kegiatan pengembangan kepribadian, pengembangan sumber daya manusia, konsultasi komunikasi dan motivasi kewirausahaan. Buku kumpulan kisah hikmahnya tentang cara meraih kebahagiaan secara efektif "KRIPIK UNTUK JIWA" sudah beredar secara indie. Sekarang buku tersebut sedang dalam proses untuk diterbitkan secara mayor. Dalam buku ini, beliau menyumbangkan cerpen berjudul "ADIK BELA & BOLA"

7.    Ahmad Tito. Pengajar bahasa Arab yang berasal dari Bengkulu. Dalam antologi ini, cerpen beliau yang dimuat berjudul KOPIAH SUBUH (Rakyat Bengkulu).

8.    Ummu Rahayu. Berasal dari Sampit dan jauh-jauh hijrah ke Malang untuk menuntut ilmu di Universitas Brawijaya Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Tak hanya mahir merencanakan tata kota, beliau pun mahir dalam merencanakan pembuatan karya sastra. 

Simak hasil tulisannya yang sungguh membuat penasaran dalam buku ini, "DI BALIK 102 TAHUN PAK SINDEN" (Majalah SOLID, Fak. Teknik Universitas Brawijaya).

9.  Maulida Azizah. Berasal dari Pagatan, Kalsel. Tengah berusaha menyelesaikan studinya yang nyaris final di Statistika Universitas Brawijaya. Selain gemar bergelut dengan angka-angka statistik, Maulida juga gemar bergelut dengan kata-kata demi menciptakan karya sastra yang bermakna.

Dalam antologi ini, cerpennya berjudul "SEPENGGAL JANJI".


10. Mahbub Ulhaq. Lelaki Palembang ini bekerja di Kementrian Keuangan. Merupakan penikmat sastra dan belajar kepenulisan lebih serius saat mengikuti writing school FLP MALANG.

Cerpennya yang dibukukan dalam antologi ini berjudul "KERASUKAN"

dan yang terakhirrr.....tentu saja...

11.  Kawaii Neko a.ka. GUE! JENG JENG! (Kwaaakwaaakwaaak, curang nih ga mau ngasih tahu nama asli. Heheh...kalau mau tahu siapa gue sebenarnya, beli dong buku di atas ehehe...). Neko pernah menjadi Juara III Lomba Menulis Surat Kepada Walikota Malang, Juara V Peksimenal Regional tahun 2008, 10 Besar Lomba Menulis Cerpen tingkat Jatim yang diadakan FLP UM tahun 2008, dan Juara I Script Writing Competition Islami Indie Movie IMD, FE UI tahun 2010. Karya Neko pernah dimuat di Majalah Hai, Kawanku, dan Story Teenlit Magazine.

Yep, Neko adalah penulis cerpen paling hensem di antologi ini, "DEMOKRASI BATAGOR". Udah dijelaskan tho dimana cerpen ini dimuat? Simak proses kreatif Neko yang sungguh panjang dan menggetarkan dalam antologi ini hehehe...

Nah, gimana? Pengarang dan cerpen-cerpennya yang dibukukan dalam antologi ini bukan sembarangan kan? Sudah dapat kisah-kisah yang bermutu, dikasih bonus proses kreatif lagi. Kurang baik apa coba? Hehehe...
Miliki sekarang juga, harga hanya Rp 40.000,00 (ongkos kirim akan disesuaikan, tergantung daerah pemesan berada). Segera pesan ya.

Untuk pemesanan, hubungi: Fauziah Rachmawati, 085649505617 or you can PM my FB :)
Cara pembayaran:

Transfer ke 7110052192 Bank Muamalat, atas nama Fauziah Rachmawati. Hubungi nomor hape beliau, lalu cantumkan scan bukti transfer melalui e-mail/ FB message, atau What's App... (melalui Fauziah Rachmawati atau aku)


Selamat memesan dan menikmati kreativitas kami :)
Previous
Next Post »
Thanks for your comment